KESAH.ID – Pemerintahan Prabowo–Gibran yang awalnya tampil gemoy dan menjanjikan zaken kabinet, justru berubah jadi parade balas jasa dengan kabinet gemuk, menteri nyeleneh, dan janji populis yang mentok di anggaran bocor—rakyat pun kena prank berjilid-jilid, dari hilirisasi ngadi-ngadi sampai wakil rakyat yang lebih mirip tukang dagang sapi ketimbang pembela nasib bangsa.
Saya sungguh tak menyangka. Pemerintahan yang katanya terpilih secara demokratis dengan menang telak dalam satu putaran pemilu—padahal lawannya ada tiga pasang—bisa secepat itu kehilangan rasa hormat dari rakyat. Kok bisa? Ya bisa. Karena dari awal, pemerintahan ini memang sudah kayak mie instan yang lupa dikasih bumbu: kelihatan meyakinkan, tapi rasanya hambar.
Prabowo, sang presiden, punya masa lalu yang… yah, kalau di sinetron mungkin sudah masuk kategori tokoh antagonis. Sementara wakilnya, Gibran, anak presiden yang dulu katanya mau fokus bisnis dan ogah politik, eh tahu-tahu nyelonong jadi walikota. Plot twist-nya lebih cepat dari episode FTV.
Pencalonan Gibran bikin PDIP Solo heboh kayak pasar malam. Tapi berkat jalur langit—alias restu dari atas—dia lolos jadi calon walikota. Lawannya? Calon independen yang asal-usulnya lebih misterius dari isi lemari Doraemon.
Perjalanan Gibran ke kursi cawapres juga mirip: lurus, mulus, dan penuh karpet merah. Pemilu pun digelar. Tiga pasangan calon bersaing ketat, kayak final MotoGP. Semua prediksi bilang bakal dua putaran. Tapi ternyata Prabowo–Gibran menang satu putaran. Langsung finish, tanpa pit stop.
Katanya sih, kemenangan mereka bukan cuma karena kerja keras partai pendukung, tapi juga karena bantuan dari Partai Hijau dan Partai Coklat. Entah itu partai politik atau varian rasa es krim, saya juga bingung.
Karena banyak yang berjasa, Prabowo pun terpaksa bikin kabinet jumbo. Padahal dulu janji mau bikin zaken kabinet—kabinet teknokrat, bukan kabinet tukang balas jasa. Tapi kenyataannya, kementerian ditambah, badan ditambah, wakil-wakil ditambah. Semua kayak rebutan kursi di kondangan.
Hasilnya? Kabinet besar, tapi amunisinya kecil. Banyak yang dilantik tapi tak kelihatan. Kerjanya nggak jelas, selain rajin tampil di media. Mau kerja gimana, meja kerja aja mungkin masih nyicil.
Contohnya Budiman Sudjatmiko, diangkat jadi Kepala Badan Pengentasan Kemiskinan. Kerjanya? Entahlah. Tapi masih mending daripada menteri lain yang kalau ngomong bikin rakyat garuk-garuk kepala. Bahlil Lahadalia misalnya, tiap tampil selalu bikin kontroversi. Seolah jabatan menteri itu sama kayak jadi ketua partai: bebas ngomong, bebas ngaco.
Menteri-menteri lain juga tak kalah absurd. Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi yang katanya pintar, tiba-tiba jadi jurkam program Makan Siang Bergizi. Omongannya ngawur, citranya sebagai akademisi langsung ambyar. Saintis kok ikut-ikutan ngejilat, kayak sendok di warung padang.
BACA JUGA : Menunggang Gelombang
Saat kampanye, Prabowo tampil gemoy, suka joget, dan hobi nge-counter serangan dengan gaya TikTok. Masyarakat pun terhibur, lupa kalau dia mantan tentara yang diberhentikan. Politik memang soal perasaan. Siapa yang bisa menyentuh emosi, dia yang menang. Prabowo dan Gibran tahu itu. Maka selama kampanye, omongan mereka dibuat sesimpel mungkin. Beda dengan Ganjar–Mahfud dan Anies yang kalau ngomong bikin kepala berkerut kayak kulit jeruk.
Rakyat pun kena PHP. Setelah prank kabinet gemuk, datang prank berikutnya: efisiensi dan pengetatan anggaran. Kantong negara ternyata bolong. Janji populis seperti Makan Bergizi Gratis pun terancam batal.
Presiden terpilih pun kena prank. Dia percaya pada mantra hilirisasi, seolah itu jurus sakti yang bisa mengisi pundi-pundi negara. Padahal hilirisasi itu… ngadi-ngadi. Untung UI berani menangguhkan gelar doktoral Bahlil yang disertasinya memuja hilirisasi. Kalau disertasinya dibikin film, mungkin judulnya “Hilirisasi: Mimpi di Tengah Krisis.”
Lord Luhut yang dulu semangat soal hilirisasi, sekarang malah ngancam rakyat: kalau nggak taat bayar pajak, siap-siap nggak dapat layanan publik. Negara kok kayak tukang parkir liar—galak narik uang, tapi nggak jaga kendaraan.
Rakyat pun bingung. Wakil rakyat juga tak kalah random. Duduk di kursi DPR, mereka berubah jadi tukang blantik, dagang sapi, jual-jual rakyat demi keuntungan pribadi. Kalau Prabowo–Gibran punya rencana, mereka nggak ganggu. Tapi minta imbalan: gaji naik, tunjangan naik. Padahal kerja mereka bikin rakyat pengen pindah kewarganegaraan.
Salah satu yang paling bikin kecewa: UU Perampasan Aset Koruptor diulur-ulur kayak mie tarik. Sudah kerjanya mengecewakan, ucapannya pun menyakiti hati rakyat. Gus Dur ternyata benar.
Tapi saya tetap mengutuk keras aksi demonstrasi yang dibawa ke ranah privat. Marah boleh, kecewa sah-sah saja, tapi jangan obrak-abrik rumah orang. Itu bukan gaya demonstran, itu kerjaan ‘riot specialist’. Mereka yang bikin Prabowo menyebut demonstran sebagai perusuh, penjarah, bahkan teroris.
BACA JUGA : Kebenaran Baru
Yang bikin heran, rumah Sri Mulyani digeruduk dua kali. Kenapa? Apa salah Sri? Ucapannya soal guru ternyata hoaks. Dan dia nggak punya rekam jejak suka nyinyir di luar urusan keuangan. Di mata saya, Sri Mulyani itu orang pintar dan sungguh-sungguh. Tapi ya, pernah juga salah. Misalnya saat yakin cukai rokok naik bakal bikin perokok turun. Nyatanya? Rokok ilegal malah naik daun.
Mungkin Sri Mulyani lupa, dulu banyak pabrik rokok rumahan. Ketika industri besar tertekan, mereka bangkit lagi dengan rokok murah meriah. Rakyat selalu punya cara untuk ngeles, apalagi kalau kebijakan mulai menjepit leher.
Jadi jangan paksa rakyat percaya pada pemerintah, polisi, atau aparat. Rakyat tahu, bangsa ini besar. Tapi sayangnya, banyak bangsatnya. Indonesia: satu nusa, banyak bangsatnya.
note : sumber gambar – SUDUTKANTIN








