KESAH.IDTudingan “Wahabi Lingkungan” yang dilemparkan Ulil Abshar Abdalla bukan sekadar blunder komunikasi, melainkan puncak gunung es dari retaknya internal PBNU demi konsesi tambang triliunan rupiah. Di tengah banjir makian dan teror digital, posisi Ulil mengungkap ironi besar: bagaimana sebuah organisasi ulama kini terbelah antara kubu pengejar “kue” batubara dan mereka yang setia pada mandat lingkungan. Ini bukan lagi soal dakwah, melainkan pertarungan kekuasaan dan aroma politik 2029 yang mulai memecah belah warga Nahdliyin dari dalam.

Di status Facebook pribadinya tertanggal 1 Desember 2025, Ulil Abshar Abdalla menuliskan: “Dari kemarin hingga pagi ini saya mendapat serangan. Dibombardir telepon dan WA tidak berhenti-berhenti. Isinya makian dan ancaman. Sekian, harap maklum.” Unggahan tersebut memicu reaksi yang masif, mendapatkan kurang lebih 5.000 reaksi, dibagikan sebanyak 200 kali, dan menuai sekitar 1.500 komentar.

Tanpa bantuan alat analisis seperti Drone Emprit, akan sangat sulit untuk melakukan analisis manual terkait sentimen atau polarisasi reaksi yang ditujukan pada status tersebut. Bagi mereka yang mengamati rekam jejaknya, tentu paham bahwa belakangan ini nama Ulil kembali mencuat gara-gara istilah “Wahabi Lingkungan” yang dilontarkannya. Ulil yang sekarang memang berbeda dengan yang dahulu—sebuah transformasi yang sebenarnya wajar seiring pertambahan usia dan kedewasaan berpikir.

Mereka yang berharap Ulil tetap radikal mungkin akan merasa kecewa, karena ia tak lagi seberani saat mulai dikenal publik melalui Jaringan Islam Liberal (JIL). Pada masa ia memimpin JIL, serangan atau teror adalah makanan sehari-hari; itu merupakan rutinitas yang selalu diterimanya. Ulil bahkan pernah diancam akan dibunuh dan dijatuhi “fatwa” bahwa darahnya halal untuk ditumpahkan. Setelah fase itu, namanya sempat surut dari panggung aktivisme saat ia masuk ke lingkaran politik praktis, jika tidak salah di Partai Demokrat.

Cukup lama namanya tak terdengar di ruang publik hingga akhirnya Ulil menggeser lokus aktivitasnya: dari seorang aktivis yang kritis terhadap praktik keagamaan menjadi praktis keagamaan. Ulil membangun komunitas melalui kajian-kajian kitab dalam lingkup tradisi Nahdlatul Ulama (NU), hingga ia mulai akrab dipanggil dengan sebutan “Gus”.

Menjelang suksesi di tubuh NU, nama Ulil kian melambung. Jabatan resminya kini adalah Ketua Lakpesdam PBNU masa bakti 2022–2027. Lakpesdam sendiri merupakan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia di bawah NU yang bertugas melakukan kajian isu strategis, advokasi kebijakan publik, serta pemberdayaan manusia. Tujuannya adalah mengembangkan warga NU dan masyarakat luas melalui pendekatan keislaman yang moderat dan inklusif. Lembaga ini berperan sebagai “laboratorium” NU untuk menghasilkan solusi kreatif bagi isu kebangsaan, mengawal kaderisasi, serta mengimplementasikan nilai-nilai toleransi, seperti dalam Program INKLUSI untuk perlindungan anak dan kelompok marginal.

Sebagai Ketua Lakpesdam PBNU—atau sering disebut sebagai Ketua PBNU di berbagai media—Ulil menjadi salah satu garda terdepan untuk menjelaskan polemik izin tambang yang diperoleh PBNU di akhir masa pemerintahan Presiden Jokowi. Dalam diskursus publik tersebut, Ulil melontarkan sebutan “Wahabi Lingkungan” bagi mereka yang dengan tegas mengkritisi kebijakan PBNU menerima tawaran mengelola tambang. Sebutan ini menyasar tidak hanya pihak luar, tetapi juga warga internal NU sendiri.

Di dalam tubuh NU, penolakan terhadap konsesi wilayah pertambangan batu bara memang cukup kuat. KH Said Aqil Siroj, mantan Ketua Umum PBNU, adalah salah satu tokoh yang menentang keras langkah tersebut. Beliau secara tegas menggolongkan tambang sebagai barang haram karena dianggap lebih banyak mendatangkan mudharat (kerugian) daripada manfaat. Said Aqil khawatir jika mengelola tambang, perhatian para petinggi NU akan teralihkan ke urusan bisnis ketimbang mengurusi umat.

Dalam diskursus lingkungan hidup, memang terdapat kelompok “radikal” yang menginginkan alam tetap murni tanpa sentuhan. Namun, jumlah mereka sedikit dan visi tersebut nyatanya sulit diwujudkan. Evolusi peradaban manusia, mulai dari zaman bercocok tanam, mekanisasi, hingga teknologi digital, kian hari kian membutuhkan energi dan mineral yang harus ditambang. Dalam setiap lini kehidupan modern, hampir setiap tindakan manusia—secara langsung maupun tidak—dihasilkan dari atau menghasilkan kerusakan alam. Sejak mengenal api, Homo sapiens cenderung menjadi makhluk eksploitatif terhadap alam.

BACA JUGA : Cikarang Bekasi

Ditopang oleh industrialisasi, manusia modern lazim mengambil sumber daya jauh melebihi kebutuhannya. Kemampuan teknologi menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru yang sangat rakus energi. Di sinilah muncul suara kritis terhadap industri ekstraktif. Mereka tidak serta-merta menolak, melainkan menganggap eksploitasi sudah berlebihan sehingga perlu dibatasi demi keberlanjutan lingkungan hidup. Namun, karena suara mereka yang terkadang sangat keras, kaum pecinta lingkungan ini mudah dijuluki sebagai kelompok radikal, atau dalam istilah Ulil, “Wahabi Lingkungan”.

Sebutan tersebut mungkin terasa tidak tepat. Di mata publik, Ulil bukanlah sosok yang memiliki otoritas kuat untuk bicara soal isu lingkungan, apalagi pertambangan batu bara. Ia tidak akrab dengan realitas di Kalimantan Timur, wilayah yang menjadi lokasi operasi tambang yang diberikan pemerintah kepada NU. Namun, keadaan memburuk ketika bencana banjir bandang melanda sebagian Pulau Sumatera. Ucapan Ulil kemudian di-framing dan dikaitkan dengan bencana tersebut.

Secara konteks, pengaitan ini jelas keliru. Menyambungkan ucapan dari konteks yang berbeda ke peristiwa lain sebagai bentuk serangan adalah praktik yang makin lazim saat ini dan kerap memicu kegaduhan. Akibat ulah para pembuat konten (clipper), Ulil menjadi korban teror yang didasarkan pada peristiwa banjir bandang—sebuah teror yang jelas-jelas salah alamat. Walaupun kita mungkin tidak bersepakat dengan Ulil soal konsesi tambang, tidak pada tempatnya menyerang beliau secara membabi buta menggunakan peristiwa yang tidak relevan. Istilah “Wahabi Lingkungan” mungkin pertanda adanya erosi pemikiran pada diri Ulil, namun ia sama sekali tidak memiliki andil dalam bencana di Sumatera.

Konon, wilayah konsesi tambang yang berasal dari pelepasan lahan Kaltim Prima Coal (KPC) tersebut memiliki potensi pendapatan setidaknya Rp30 triliun untuk NU. Jumlah yang sangat besar ini dapat memandirikan NU secara finansial tanpa harus bergantung pada budaya proposal atau sumbangan. Maka, wajar jika pengurus PBNU menerima konsesi tersebut dengan tangan terbuka. Kapan lagi NU memiliki peluang mendapat dana sebesar itu tanpa harus menadahkan tangan?

Masalah muncul ketika potensi uang besar ini mulai mengundang minat banyak pihak, baik dari internal maupun eksternal yang ingin mencicipi “kue” tersebut. NU bukanlah organisasi yang memiliki kemampuan teknis mandiri untuk menambang batu bara. Walaupun NU mendirikan perusahaan sendiri yang dipimpin oleh kadernya, kemungkinan besar perusahaan itu hanya akan menjadi “perusahaan payung”, sementara aktivitas lapangan tetap dilakukan oleh kontraktor.

BACA JUGA : Nasi Indomaret

Nampaknya, penentuan kontraktor dan mekanisme kerja sama inilah yang menjadi sumber gesekan di antara para pengurus PBNU. Konflik internal ini kemudian pecah ke publik dalam bentuk aksi saling pecat. Dua sahabat, Gus Yahya dan Gus Ipul, kini seolah berada di kubu yang berseberangan. NU mengalami fenomena “belah semangka”. Terjadi dualisme antara kubu “Sultan” dan kubu “Kramat Raya”, di mana keduanya memiliki basis dukungan yang hampir sama kuat.

Perpecahan ini memang belum menimbulkan bentrokan fisik atau perebutan gedung PBNU sembilan lantai di Jakarta. Banser, sebagai “sayap organisasi” NU, akan menjadi kunci: siapa yang menguasai Banser kemungkinan besar akan mendominasi fisik gedung PBNU. Namun, sayap ini pun nampaknya ikut terbelah. Pada akhirnya, legitimasi akan bersandar pada keputusan pemerintah mengenai kubu mana yang akan diakui secara legal.

Bisa jadi tidak akan ada aksi penyerbuan gedung. Kedua kubu mungkin akan berjalan dengan aktivitas masing-masing hingga Muktamar NU tiba. Opsi Muktamar Luar Biasa (MLB) tidak populer karena dianggap hanya akan menguntungkan salah satu pihak. Muktamar reguler yang seharusnya jatuh pada 2027 direncanakan akan dipercepat ke tahun 2026 demi mengembalikan siklus jadwal normal pasca-pandemi. Jika kesepakatan ini bertahan, maka masa penantian itu tidak akan lama lagi.

Pada akhirnya, dualisme di tubuh PBNU sejatinya tidak hanya berpangkal pada urusan konsesi tambang, tetapi juga berkelindan erat dengan kontestasi politik menuju tahun 2029. Terlihat jelas ada pihak-pihak yang sedang menunggangi gelombang dan memainkan arah angin dengan cara yang sangat halus, sehingga sulit dibaca secara gamblang oleh publik luas.

note : sumber gambar – GEMINI