KESAH.ID – Natal tak harus soal pohon lampu atau debat ucapan, tapi soal keberanian untuk tetap low profile dan berbagi bahagia di tengah dunia yang makin performative. Dari kehangatan botol Prancis hingga kesederhanaan kandang Betlehem, esai ini mengajak kita beragama secara simpel: rayakan kegembiraan bersama ‘Sang Liyan’ tanpa rasa takut, karena pada akhirnya, iman sejati tak akan luntur hanya karena kita ikut merayakan kebahagiaan sesama.
Tak ada kejutan menjelang Natal kali ini, semua biasa saja. Hanya saja, ada satu hal yang tak disangka-sangka: tengah malam sehari menjelang malam Natal, sebuah panggilan masuk. Seorang teman yang kini menjadi wakil rakyat di kabupaten yang berbatasan dengan Kalimantan Selatan, sedang berada di Samarinda. Kami janjian bertemu di sebuah ruas jalan yang terkenal tetap ramai hingga dini hari.
“Saya bawa minuman,” ujarnya sembari menyebutkan sebuah merek.
Itu merek dari Prancis yang sudah lama dikenal karena kualitasnya. Salah satu keunggulannya adalah seni pencampuran (blending) dan penuaan (aging). Minuman ini konon lahir dari anggur Ugni Blanc di wilayah bernama Cognac. Dilabeli Very Special Old Pale (VSOP), minuman berbahan anggur yang didestilasi ini membawa nuansa aromatik yang khas. Setelah disimpan sekian lama di dalam tong kayu Ek, hasilnya adalah rasa yang kuat namun lembut, dengan warna keemasan yang menggoda. Harganya lumayan; cukup untuk menebus sebuah ponsel Xiaomi kelas mid-range.
Saat menyerahkannya, Pak Dewan tidak mengucapkan selamat Natal—karena memang belum waktunya. Tapi saya tahu, dia membawakan ini justru karena aroma Natal sudah di depan mata. Sampai hampir pagi kami ngobrol di sebuah kedai. Ngobrol ke sana-kemari, tapi uniknya, sama sekali tak membahas soal Natal.
Tak apa-apa, toh di rumah saya juga tidak ada “bau” Natal. Tak ada lagi pohon Natal dengan lampu kerlap-kerlip, apalagi gua Natal dengan patung keluarga kudus. Sudah lama saya tidak membuat gua Natal, padahal dulu itu adalah kesibukan utama saya setiap bulan Desember.
Rumah saya memang baru dicat dan plafonnya diperbaiki—dari tripleks diganti gipsum. Tapi jujur, itu bukan untuk menyambut Natal, melainkan karena plafon lama sudah jebol di sana-sini akibat sering dipakai arena balap lari oleh kucing-kucing saya. Walau begitu, ketika ada tetangga yang datang mengantar sesuatu, dia berkomentar, “Wah, siap betul menyambut Natal, ya?”
Saya tidak menampik, namun juga tidak mengiyakan. Siap tidak siap, Natal pasti akan datang walau tak disambut secara formal.
Rasanya, antusiasme menyambut Natal yang paling puncak hanya pernah saya rasakan ketika tinggal di Manado. Bagaimana tidak? Begitu memasuki bulan November, seluruh lingkungan sudah berbau Natal. Hampir tiap malam ada ibadah pohon terang. Angin di bulan November seolah membawa aroma khas; bau makanan Natal dan kue-kue yang dipersiapkan dengan serius oleh setiap keluarga.
Dan sejak bulan November pula, jalanan mulai riuh oleh konvoi Sinterklas yang mengantar hadiah titipan orang tua untuk anak-anaknya. Aksi Sinterklas ini selalu menarik, bukan karena sosok Kakek Berjanggut pembawa karung hadiahnya, melainkan karena ulah Piet Hitam yang sukses membuat anak-anak terkencing-kencing ketakutan. Pengalaman Natal terbaik memang di Manado; perayaannya terasa sampai ke sumsum tulang. Di sana, semua orang berlomba menyajikan yang terbaik. Kata seorang teman berseloroh: Yesus memang lahir di Bunaken. Bukan jadi Juru Selamat, tapi Juru Selam.
BACA JUGA : Ekonomi Bundir
Tetapi bagaimanapun juga, Natal tetaplah menyenangkan. Ya, sekurangnya saya bisa bebas minum di rumah, bahkan anak saya ikut serta. Sebagai orang yang merasa sudah bebas dari dogma agama, di hari Natal saya justru kembali merasakan kerinduan akan kesalehan ritual. Saya pergi ke gereja. Saya memilih Gereja Katedral yang sering saya lewati namun jarang saya masuki.
Agar dapat tempat duduk di dalam, dua atau satu setengah jam sebelum misa dimulai, saya sudah “ngetem” di dalam. Ada penampilan berbeda pada hiasan Natal di Katedral kali ini. Altar tidak didominasi warna merah. Yang menonjol bukan hiasan bunga, melainkan rangkaian sayuran dan buah-buahan segar. Tak ada juga gua Natal konvensional; diganti dengan pondok berbentuk Tongkonan khas Toraja. Saya memotretnya, lalu mengirimkannya ke beberapa teman asal Toraja dengan ucapan nakal: “Selamat, Yesus lahir di Toraja!”
Sedari saya kecil, khotbah Natal rasanya tak pernah berubah. Pasti berkisah tentang kesederhanaan karena Tuhan lahir di palungan. Ceritanya bermula dari perintah kaisar untuk cacah jiwa. Yusuf dan Maria harus pulang kampung untuk mendaftarkan diri. Maria tengah hamil tua. Dan begitu sampai di Betlehem, mereka gagal check-in; semua hotel dan penginapan fully booked.
Zaman itu memang belum ada aplikasi Traveloka atau Agoda, jadi sistemnya untung-untungan. Dan sayangnya, Yusuf serta Maria tidak sedang beruntung. Mereka terpaksa menginap di kandang ternak. Andaikan saat itu sudah ada WhatsApp Group atau media sosial, Yusuf mungkin sudah pasang status: “Info penginapan budget di Betlehem yang masih ada kamar kosong dong, urgent!”
Yusuf tentu panik karena Maria sudah di pembukaan terakhir. Apa boleh buat, yang penting ada tempat berteduh. Yesus kemudian lahir di kandang—tempat yang berbau kotoran dan urine hewan. Sang bayi diletakkan di palungan, tempat makan ternak yang mungkin menjadi satu-satunya area “paling empuk” di sana.
Karena lahir di kandang, wajar kalau Yesus kemudian sangat low profile. Sang Juru Selamat tidak lahir di bangsal rumah sakit bersalin kelas VIP atau Istana Negara, tapi di tempat yang bahkan dianggap paling tidak layak karena tidak higienis. Andaikan Sang Raja Diraja lahir di istana, tentu tidak semua orang “jelata” layak menjenguk-Nya. Kisah kelahiran Yesus ini memang sebuah plot twist yang luar biasa.
Cerita kelahiran Yesus yang sudah berulang-ulang saya dengar ini—bahkan beberapa kali saya ikut memainkan sandiwaranya—rasanya masih sangat relate sampai sekarang. Yesus sang Penebus tidak terkena virus performative. Dia datang ke dunia apa adanya. Dia membawa misi besar, tapi tidak terlalu sibuk memoles “bungkusnya”.
BACA JUGA : Ekologi Biologi
Lepas dari urusan iman, perayaan Natal dari tahun ke tahun memang makin menyenangkan. Bukan melulu soal kesalehan, tapi Natal kini menjadi perayaan publik, terutama di ruang-ruang komersial. Natal telah menjadi perayaan kapitalistik. Ya tidak apa-apa juga; justru karena itulah Natal dirayakan oleh banyak orang, meski bukan sebagai perayaan iman. Paling tidak, kedatangan Yesus—jika tidak dirasakan sebagai Juru Selamat—tetap berguna karena mendatangkan rasa senang, syukur-syukur kebahagiaan.
Memang masih ada satu-dua orang yang hobi ribut soal ucapan selamat atau perayaan Natal bersama. Mereka masih merasa bahwa sekadar berucap selamat atau hadir bisa merusak keimanan. Padahal, nuansa Natal tidak selalu soal dogma. Mengucapkan selamat Natal itu mirip-mirip dengan menghadiri resepsi pernikahan; kita mengucapkan selamat berbahagia pada mempelai, lalu ikut bergembira sembari makan-makan. Sesimpel itu saja.
Beragama itu seharusnya simpel. Jalankan dengan bahagia dan tak perlu khawatir jika orang lain juga menjalankan agamanya dengan bahagia. Toh, kita semua sama-sama mencari bahagia. Jadi, mengapa harus takut melihat orang lain taat beribadah atau membangun rumah ibadah? Rasanya aneh; masa orang mau bersembahyang malah dilarang-larang, padahal sejak kecil kita diajari untuk selalu sembahyang.
Jadi, ayo turut rayakan Natal. Nanti turut juga rayakan Lebaran, Galungan, Waisak, dan lain-lain. Biar kita semua bahagia bersama-sama, sehingga tak perlu lagi ada kekhawatiran jika ada rencana pendirian rumah ibadah dari saudara-saudari yang lain. Kita harus bantu agama kita masing-masing untuk “berhasil”—berhasil mendidik umatnya agar tidak melakukan tindakan aneh-aneh, seperti melarang hak ibadah orang lain.
Rasanya ini adalah tugas paling berat bagi para pemuka agama: mendidik umatnya agar tidak dangkal dalam cara beriman. Agama telah membuktikan diri sebagai salah satu sistem sosial yang paling bertahan lama di muka bumi. Hal ini dimungkinkan karena agama sejatinya terbuka terhadap yang lain, terhadap sang “Liyan”. Maka, merasa telah membela agama sendiri dengan cara melarang orang lain beribadah, jelas hanya akan membuat masa depan agama itu sendiri menjadi suram.
Jadi, mari bergembira di hari libur Natal ini. Tak perlu ragu; turut merayakan kegembiraan Natal dijamin tidak akan mengganggu iman masing-masing. Selamat Natal, dan jangan lupa kunjungi tetangga yang punya stok kue enak. Lebih bagus lagi kalau ada bir atau minuman menyegarkan lainnya. Ingat: In Vino Veritas—di dalam anggur, ada kebenaran.
note : sumber gambar – GEMINI








