KESAH.ID – Bagi ekologi, tidak semua yang hijau itu melestarikan. Dari kenangan memanjat kelapa gading hingga karpet monokultur yang mengepung Kalimantan, simplifikasi ‘sawit adalah pohon’ milik Presiden Prabowo perlu dibedah karena merupakan narasi berbahaya yang mengabaikan fungsi hutan sebagai spons alam dan hanya akan mewariskan bencana dari Sumatera hingga Papua.
Kelapa sawit sebenarnya adalah tanaman yang asing bagi saya. Sudah lama saya mendengar namanya, bahkan sering ikut-ikutan mengisahkan “kehebatannya”, tapi ya belum pernah melihat wujud aslinya. Atau mungkin saya pernah melihatnya tapi saya tidak sadar kalau itu adalah kelapa sawit. Maklum, mata saya lebih terlatih mengenali nyiur alias kelapa biasa yang jenisnya macam-macam itu.
Ada kelapa yang buahnya kuning, hijau, hingga cokelat. Yang kuning kami sebut kelapa gading; pohonnya cebol, buahnya mungil, dan lebih sering berakhir jadi tanaman hias di halaman daripada jadi santan. Nah, di pohon kelapa gading belakang rumah itulah saya pertama kali belajar memanjat pohon kelapa.
Dulu saat ikut Pramuka, pembina saya selalu bilang kalau kelapa itu “pohon super”. Dari akar sampai pucuk daun, semuanya berguna. Kelapa adalah pohon kehidupan—layaknya supermarket alami bagi masyarakat. Daunnya bisa disulap jadi atap (getepe), lidi daun tuanya jadi sapu, sisanya jadi kayu bakar. Daun mudanya? Jangan ditanya, kalau tidak jadi hiasan janur ya jadi selongsong ketupat. Buahnya pun sakti: yang muda jadi pelepas dahaga, yang tua diperas jadi santan atau minyak. Bahkan sabut dan batoknya masih berharga untuk dimanfaatkan.
Nanti, ketika saya menginjakkan kaki di “Bumi Nyiur Melambai”, Sulawesi Utara, barulah saya melihat sendiri bagaimana kelapa benar-benar menyejahterakan warga. Di sana, kebun-kebun dipenuhi pohon kelapa yang dari kejauhan tampak melambai-lambai, seolah menyapa saldo tabungan petani. Setelah era kejayaan cengkeh meredup, ekonomi petani bergantung penuh pada kopra. Di setiap kebun, selain ada sabua (pondok), pasti ada tempat pengasapan atau fufu kelapa.
Rantai pasok kopra ini begitu rapi, bermuara ke Bimoli—pabrik pengolahan minyak raksasa di Kota Pelabuhan Bitung. Banyak yang tidak tahu kalau “Bimoli” itu singkatan dari Bitung Manado Oil Limited. Selain minyak, Sulawesi Utara juga punya PT Royal Coconut (dulu Poleko) di Minahasa Utara yang mengolah tepung kelapa. Belum lagi produk turunan seperti VCO, karbon aktif, hingga nata de coco. Pokoknya, kelapa di sana adalah primadona.
Namun, begitu saya meninggalkan Bumi Nyiur Melambai dan menetap di tepian Sungai Mahakam, pohon kelapa mendadak menghilang dari pandangan. Yang sering saya lihat cuma kios penjual kelapa muda. Memang ada pohon kelapa di sana-sini, tapi mereka tidak “melambai” seantusias kelapa di Manado. Yang lebih menonjol di Samarinda waktu itu adalah hilir mudik tongkang batubara yang berenang santai di Sungai Mahakam.
Anehnya, setelah sekian lama tinggal di sini, yang paling sering mampir ke telinga saya justru kisah tentang kelapa yang lain—bukan kelapa gading atau hibrida, melainkan kelapa sawit.
BACA JUGA : Ekologi Biologi
Mula-mula, saya hanya mendengar sayup-sayup kisah konflik antara masyarakat dan perusahaan sawit. Biasanya ceritanya serupa: perusahaan mendapat HGU di atas tanah yang sudah digarap warga. Konsep “Inti-Plasma” yang manis di atas kertas ternyata seringnya macet di lapangan.
Di Samarinda sendiri memang jarang ada kebun sawit luas. Saya baru melihat “hutan homogen” ini saat melakukan perjalanan ke Kutai Barat. Kalau tidak salah, sejak daerah Jahab di Kutai Kartanegara, deretan pohon sawit mulai unjuk gigi. Lalu di sekitar Muara Tae, sawit milik Lonsum berjajar panjang di kanan-kiri jalan seolah tak ada habisnya. Sawit memang sudah mengepung Kukar, Kubar, PPU, Paser, Kutim, hingga Berau.
Di Berau, Kecamatan Segah bisa dibilang sebagai “Kecamatan Sawit”. Namun, rekor perjalanan terpanjang saya membelah kebun sawit terjadi di Kecamatan Tabang. Keluar dari Sungai Belayan, menyusuri jalan hauling milik Bayan Group sejauh 20 kilometer, yang menemani pandangan saya hanyalah sawit, sawit, dan sawit.
Tahun ke tahun, Kalimantan Timur mencatat pertumbuhan sawit yang luar biasa. Masyarakat yang dulunya ogah-ogahan, kini tak segan menebang tanaman lain demi menggantinya dengan sawit. Kenapa? Karena ekosistemnya sudah matang. Warga Kaltim sudah paham hitung-hitungannya: punya lahan dua hektar saja, sawit sudah bisa memberi napas lega bagi dapur. Pemerintah sebenarnya sering menganjurkan diversifikasi ke buah-buahan, tapi menanam buah di beberapa daerah Kaltim sering bikin sakit hati; begitu mau panen, monyet ekor panjang dan pendek sudah lebih dulu melakukan “sidak” dan menghabiskannya. Maka, sawit pun jadi pilihan logis.
Hasilnya? Hutan pun terkonversi. Bahkan wilayah konservasi seperti Tahura Bukit Soeharto pun perlahan berubah jadi kebun sawit warga. Area yang dulunya subur dengan lada (sahang) kini berganti rupa. Pola okupasi di Bukit Soeharto ini menarik: mula-mula lahan dibuka untuk menanam nanas. Kalau penanaman nanas kedua sukses tanpa ada petugas yang melarang, maka pada putaran ketiga, bibit nanas akan disisipi bibit sawit. Strategi gerilya yang efektif.
Kini, luas kebun sawit Kaltim mencapai 1,48 juta hektar, menyalip Sumatera Utara. Kaltim hanya kalah dari Kalbar, Kalteng, dan Riau. Meski begitu, Sumut masih menang telak soal hilirisasi. Kaltim, seperti biasa, tetap diperlakukan sebagai gudang bahan mentah. Kita hanya mengekstrak, lalu mengirimnya keluar. Hilirisasi kayu lapis yang dulu sempat jaya pun sudah rontok sejak awal 2000-an karena kehabisan bahan baku.
BACA JUGA : Renungan Natal
Namun belakangan, citra sawit agak terpojok gara-gara rentetan bencana di Sumatera. Walaupun sama-sama disebut “pohon”, ternyata “hutan” sawit tidak becus menjalankan fungsi sebagai “spons”. Sebagai tanaman monokultur, sawit tidak punya lapisan tajuk dan serasah serumit hutan alam. Akibatnya, air hujan langsung menghujam tanah dengan kekuatan penuh, menutup pori-pori tanah, dan membuat kemampuan menyerap air hilang seketika. Air hujan yang tak bisa masuk ke tanah itu pun berubah menjadi run-off alias air liaran yang siap menerjang apa saja.
Di Sumatera, sawit nekat ditanam di lahan miring dan perbukitan. Padahal, akar serabut sawit itu dangkal; mereka tidak punya kemampuan “mencengkeram” massa tanah di lereng curam. Risiko longsor pun jadi bonus yang tak diinginkan. Belum lagi urusan lahan gambut yang dikeringkan lewat kanal-kanal drainase demi sawit, yang selain merusak fungsi penyimpan air, juga mengubah gambut jadi sumbu kebakaran saat kemarau.
Dengan segudang risiko itu, wajar jika pernyataan Presiden Prabowo yang menyebut “sawit itu pohon” jadi kontroversial. Seolah rentetan bencana di Sumatera belum cukup menjadi bukti untuk berhenti meng-endorse tanaman ini secara membabi buta. Setelah Sumatera dan Kalimantan penuh sesak, kini giliran Papua yang diincar untuk ditanami sawit besar-besaran.
Nampaknya, dalam visi ketahanan pangan dan energi Presiden Prabowo, sawit dianggap sebagai senjata pamungkas. Sayangnya, beliau tidak berhitung soal risikonya. Jika Papua dipaksa menjadi ladang sawit masif, kita sedang menyiapkan kebijakan monokultur terbesar dalam sejarah Indonesia. Belajar dari Revolusi Hijau era Soeharto, kita tahu bahwa penyeragaman hayati selalu berakhir dengan kerapuhan sistemik.
Sawit memang pohon, tapi menyederhanakan fungsinya seolah ia bisa ditanam di mana saja demi angka di neraca perdagangan adalah langkah yang nekat. Memaksa setiap jengkal lahan “kosong” ditanami sawit kelak akan menuntut bayaran ekologis yang jauh lebih mahal daripada devisa yang dihasilkan.
Presiden Prabowo perlu diingatkan bahwa dalam ekologi, tidak semua yang berbatang, berdaun, dan berwarna hijau itu otomatis melestarikan alam. Masalahnya sekarang: siapa yang bisa dan cukup berani mengingatkan beliau? Entahlah. Karena sepertinya, bencana besar di depan mata pun belum cukup membuatnya berhenti menganggap sawit sebagai solusi tunggal ketahanan pangan dan energi.
note : sumber gambar – GEMINI








