KESAH.IDTumblergate membuktikan kerentanan akut masyarakat digital kita, di mana sebotol air minum—sebagai penanda status alih-alih fungsi—mampu memicu context collapse dan vigilante justice daring. Berawal dari curhatan emosional atas kelalaian petugas KAI, narasi simpati cepat berbalik menjadi amukan massa, yang tidak hanya menyeret institusi besar ke dalam drama, tetapi juga berujung pada kerugian pekerjaan ganda—menghapus batas antara korban dan pelaku—menegaskan bahaya online disinhibition yang mengubah ruang koreksi menjadi ruang pembunuhan karakter.

Ada ironi di negeri ini, sebuah kerentanan akut terhadap pusaran isu-isu remeh-temeh. Setelah sempat diombang-ambing oleh tuduhan ijazah palsu seorang pemimpin, energi publik kembali terkuras, kali ini oleh sebuah benda sepele: tumbler.

Kebiasaan membawa tumbler, botol minum multiguna, patut disyukuri sebagai sebuah tren positif. Anggap saja sebagai manifestasi kesadaran ekologis kolektif, sebuah upaya sederhana namun signifikan untuk memangkas jejak botol plastik sekali pakai. Refill air dari galon adalah praktik yang seyogyanya dibiasakan. Namun, di tengah masyarakat yang terpapar sindrom konsumerisme, fungsi tumbler bergeser. Ia tak lagi sekadar wadah air, melainkan penanda status sosial. Orang berlomba membeli tumbler termahal.

Spektrum harga tumbler yang membentang luas—dari puluhan ribu hingga merangkak ke angka jutaan, dihiasi merek-merek premium—mengubahnya menjadi instrumen gengsi. Inilah pangkal dari kegemparan emosional yang tak terduga: hilangnya tumbler bukan hanya kerugian fungsional, melainkan juga pukulan terhadap identitas.

BACA JUGA : Ada Menderita

Peristiwa yang kemudian dijuluki “Tumblergate” ini bermula dari insiden yang sangat spesifik dan banal. Seorang penumpang wanita di gerbong Kereta Rel Listrik (KRL) jurusan Tanah Abang–Rangkas Bitung kehilangan tumblernya di kereta khusus wanita. Petugas KAI dengan sigap merespons, melacak barang tersebut, mendokumentasikannya, dan menitipkannya di bagian lost and found. Sebuah prosedur yang tampak berjalan normal.

Namun, drama dimulai keesokan harinya. Ketika pemiliknya datang untuk mengambil, tumbler yang konon berada di dalam cooler bag tersebut telah lenyap, hanya menyisakan tasnya. Rasa aman yang dijanjikan oleh sistem hilang dan berganti kekecewaan mendalam. Pemilik tumbler, mungkin merasa di-PHP oleh harapannya sendiri dan prosedur yang gagal, meluapkan kekesalannya di platform media sosial, Threads. Ia secara eksplisit menuding hilangnya barang itu sebagai “kelalaian petugas KAI” dan tak lupa mencantumkan akun resmi operator kereta api tersebut.

Unggahan itu meledak. Publik Indonesia, dengan kecenderungan punya naluri bersimpati pada ‘warga biasa’ yang berhadapan dengan ‘institusi besar,’ segera menyerbu KAI. Narasi awal berpusat pada kekecewaan dan tuntutan pertanggungjawaban. Namun, situasi memburuk secara drastis ketika muncul kabar burung: petugas yang telah membantu menemukan tumbler itu konon dipecat karena dianggap melanggar Standar Operasional Prosedur (SOP).

Netizen, yang tadinya bersimpati pada korban, kini berbalik mengamuk. KAI dituding bertindak keterlaluan.

Menghadapi amukan massal, KAI segera mengeluarkan klarifikasi. Pihak perusahaan menegaskan tidak ada pemecatan, melainkan hanya evaluasi terhadap karyawan mitra—sebuah nuansa yang sayangnya sering terabaikan di tengah kegaduhan daring. KAI juga kembali pada diktum dasar: barang bawaan adalah tanggung jawab penumpang.

Pernyataan ini menjadi titik balik. Simpati publik berbalik arah dengan kecepatan tinggi. Pemilik tumbler yang tadinya adalah korban, kini diserang balik. Hilangnya sebotol wadah minuman, betapapun mahalnya, dianggap tidak sebanding dengan potensi hilangnya pekerjaan seseorang. Tuntutan pertanggungjawaban bergeser menjadi tuntutan penyesalan.

Di bawah tekanan siber yang masif, pemilik tumbler merilis sebuah video permintaan maaf, ditujukan kepada netizen dan kepada petugas yang konon kehilangan pekerjaan. Namun, drama tidak berhenti di sana. Kabar lain muncul: wanita yang kehilangan tumbler itu sendiri kehilangan pekerjaannya. Perusahaan tempatnya bekerja menyatakan perilakunya di media sosial tidak sesuai dengan nilai-nilai etika korporat mereka.

Sebuah botol minum, yang seharusnya hanya mewadahi air, telah menumpahkan kemarahan tak terkendali dan memicu kerugian ganda. “Botol membuat orang menjadi tolol”—sebuah kesimpulan yang tragis.

Tumblergate adalah studi kasus sempurna mengenai patologi kemarahan sosial media. Kita hidup di era di mana akun pribadi memiliki efek publik. Platform daring mudah menggoda kita untuk curhat, mencari kelegaan instan dengan memuntahkan emosi. Namun, seorang psikolog akan memberi kita konteks yang berbeda dari timeline media sosial.

Para ahli menyebut fenomena ini sebagai context collapse—runtuhnya batas antara audiens yang intim (teman dekat, rekan kerja) dengan publik luas, bahkan pihak berwenang, dalam satu ruang yang sama. Curhatan pribadi mendadak menjadi siaran pers, namun dengan audiens yang tak terfilter, menghasilkan respons yang acak dan tak terduga.

Lebih lanjut, media sosial memicu online disinhibition effect. Merasa anonim atau terisolasi di balik layar, orang cenderung bicara lebih berani, lebih spontan, dan jauh lebih keras daripada di dunia nyata. Komentar yang tadinya omon-omon kecil di lingkaran pertemanan bisa meluas menjadi umpatan publik yang kejam. Tambahkan akun-akun anonim dan fake account dalam persamaan ini, dan pengadilan daring menjadi kacau balau.

BACA JUGA : Memanen Coklat

Dalam kasus Tumblergate, tuduhan “kelalaian petugas” menjadi pelatuk. Narasi yang beredar, terlepas dari fakta apakah petugas itu benar-benar dipecat, menciptakan sentimen bahwa ada ketidakadilan, ada pihak yang dikambinghitamkan. Netizen, yang cepat mengidentifikasi diri sebagai Social Justice Warrior (SJW), bergerak.

Fenomena ini kini diistilahkan sebagai socially mediated vigilante justice. Seseorang, dari balik gawai, merasa berhak menjadi hakim dan jaksa atas sepotong informasi viral. Tujuannya terdengar mulia: menegakkan keadilan, membela yang lemah. Namun, yang terjadi seringkali adalah mengganti satu korban dengan korban yang lain.

Pasangan suami istri itu, yang tadinya mendapat simpati, menjadi sasaran tembak berikutnya. Mereka dihujat, di-doxing, dicap lebay dan jahat. Netizen Indonesia, dengan kecenderungan mereka yang hiperbolik, bahkan menyebarkan meme karangan bunga virtual untuk petugas KAI yang konon dipecat, sebuah simbolisasi simpati yang sekaligus berfungsi sebagai serangan tanpa ampun terhadap pasangan tersebut.

Meskipun aktivitas di media sosial dapat berfungsi sebagai kekuatan korektif terhadap institusi dan kebijakan publik, ia sering didominasi oleh emosi di atas nalar. Ruang koreksi itu dengan cepat berubah menjadi ruang pembunuhan karakter.

Insiden ini, meskipun konyol, memberi pelajaran penting. Kita semua, di era ini, adalah pewarta, berpotensi menjadi yang tercepat mengabarkan sesuatu, termasuk penderitaan dan perasaan dizalimi.

 

Sebelum memuntahkan emosi melalui jari ke keyboard virtual, jeda singkat—bahkan hanya satu hingga tiga detik—sudah cukup untuk menarik rem. Di masa lalu, kesalahan yang diikuti permintaan maaf dapat menyelesaikan persoalan. Di masa kini, kesalahan di-screenshot, sedangkan permintaan maaf dapat diabaikan, memastikan aib terus beredar.

Mempelajari dasar-dasar jurnalistik menjadi relevan: Apakah yang disampaikan itu fakta, atau narasi yang dibumbui emosi? Dan Apakah tulisan itu adil? (Cover both side?).

Mengajak orang lain berdiri bersama kita saat kita sedang terjepit di media sosial sama artinya dengan menjadikan mereka sasaran tembak berikutnya. Netizen cenderung lebih senang jika ada banyak target yang bisa diserang.

Kata kunci “Think before posting” dan “wise while online” tetap menjadi mantra yang paling relevan. Jika tidak, kita akan terus-menerus menjadi penyedia makanan bagi netizen yang doyan melontarkan makian dan serangan verbal. Kita harus belajar mengunci jari kita dari tombol publikasi, sebelum keterlanjuran itu melukai orang lain dan berbalik menyengsarakan diri kita sendiri.