KESAH.IDMelalui langkah kaki, kita tidak hanya sedang berpindah tempat, tetapi sedang melakukan “peregrinatio”—sebuah peziarahan radikal untuk meruntuhkan tembok menara gading dan menjemput kebenaran di debu jalanan. Susur Gang Samarinda bukan sekadar aktivitas membakar kalori, melainkan metode literasi yang paling jujur; sebuah cara untuk membaca narasi kota yang tersembunyi, merajut interaksi yang hilang, dan membuktikan bahwa gagasan-gagasan paling revolusioner dalam sejarah manusia tidak pernah lahir dari sofa yang nyaman, melainkan dari sepasang kaki yang berani melangkah dan berpikir.

“Walking is not a sport,” tulis Frédéric Gros dalam bukunya Philosophy of Walking. Pernyataan ini menjadi provokasi pembuka yang menarik, sebab bagi Gros, olahraga telah terlanjur diidentikkan dengan catatan waktu, skor, kompetisi, dan segala bentuk pencapaian angka. Namun, berjalan kaki tidaklah demikian. Kaki, sebagai moda transportasi purba manusia, telah merekam jejak evolusi sedemikian rupa sehingga dalam setiap langkahnya, tubuh dan pikiran bergerak dalam ritme yang harmonis dan sama.

Jalan kaki yang dimaksud oleh Gros sejatinya sangat mirip dengan istilah “mlaku-mlaku” dalam bahasa Jawa. Di sana, kaki melangkah bukan untuk memburu tujuan atau dikejar tenggat waktu. Kita melangkah dan terus melangkah; kadang terhenti karena sapaan orang lain, atau terpaku pada pemandangan dan situasi yang kontras dengan keseharian. Mlaku-mlaku membuat kita hadir sepenuhnya di sebuah tempat. Jalan kaki, pada akhirnya, adalah tentang interaksi.

Di Eropa, tradisi literasi berkelindan erat dengan aktivitas berjalan kaki. Para putra mahkota kerajaan pada masa mudanya diwajibkan melakukan perjalanan jauh yang disebut Grand Tour. Ditemani seorang mentor, sang pangeran berkelana lintas negara untuk mengenali denyut kehidupan di luar tembok istana. Sepulang dari perjalanan itu, ia menjelma pribadi yang berbeda; wawasannya meluas karena ia telah melihat kenyataan yang tak terjamah protokol kerajaan. Pengalaman inilah yang menjadi nutrisi bagi lahirnya kebijakan dan kebijaksanaan dalam memimpin.

Jejak sejarah serupa ditemukan di lembah Sungai Gangga. Siddhartha Gautama, yang kemudian dikenal sebagai Sang Buddha, melahirkan ajaran-ajaran luhur melalui pengembaraan dari desa ke desa. Konsep pengembaraan atau Shramana menjadi inti ajaran Buddhisme, yang diwujudkan dalam praktik Meditasi Jalan atau Cankamana. Di sana, sinkronisasi antara langkah kaki dan napas melahirkan kesadaran penuh (mindfulness). Ajaran tentang “Jalan Tengah” sejatinya lahir dari sebuah perjalanan yang bersifat fisik sekaligus spiritual.

Di era modern, India kembali menyaksikan kekuatan langkah kaki melalui Mahatma Gandhi. Ia menggunakan praktik berjalan untuk mengubah kesadaran bangsa melalui Dandi March atau Pawai Garam pada tahun 1930. Sejauh 390 kilometer selama 24 hari, Gandhi berjalan bukan sekadar untuk protes, melainkan untuk merumuskan gagasan Satyagraha—aksi perlawanan tanpa kekerasan. Gagasan besar ini ditularkannya dari satu debu jalanan ke debu jalanan lainnya.

Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa jalan kaki bukanlah sekadar aktivitas fisik, melainkan metode spiritual dan intelektual. Dalam filsafat dikenal istilah Solvitur Ambulando, yang berarti “selesaikanlah dengan berjalan.” Bahkan dalam tradisi sekolah berasrama, dikenal istilah ambulasi; hari di mana siswa diizinkan keluar pagar untuk sekadar berjalan di lingkungan sekitar. Ambulasi menjadi jeda, sebuah napas pendek untuk membunuh kebosanan rutinitas.

Kedai Kopi Ruma Eyang titik kumpul SGS merefleksikan perjalanan satu tahunnya

BACA JUGA : Renungan Natal

Perjalanan satu tahun didisplay dengan poster, postcard dan stiker

Dalam skala yang lebih radikal, Serikat Yesus (Jesuit) mengenal pilar Peregrinatio atau peziarahan. Sang pendiri, Ignatius Loyola, menyebut dirinya sebagai El Peregrino (Sang Peziarah). Meskipun kakinya hancur terkena meriam di Pamplona, ia tetap berjalan dari Loyola, ke Manresa, hingga Yerusalem. Kaki yang pincang itu menjadi simbol penyerahan total pada penyelenggaraan Ilahi.

Tradisi ini diteruskan kepada para novis Jesuit. Mereka wajib menjalani peziarahan tanpa bekal uang, tanpa rencana, bahkan tanpa identitas. Tujuannya adalah untuk “lepas bebas” dari kenyamanan material dan belajar mempercayai kebaikan orang asing. Bagi Jesuit, jalanan adalah altar. Wahyu Tuhan ditemukan dalam percakapan dengan tukang sapu, pengemis, atau kuli panggul yang kulitnya menghitam. Peziarahan adalah antitesis dari pendidikan menara gading; mereka belajar sosiologi dan antropologi bukan dari statistik perpustakaan, melainkan dari perjumpaan langsung dengan kaum marjinal.

Langkah kaki memang merangsang pikiran untuk bekerja lebih dalam. Aristoteles mengajar murid-muridnya di sekolah Lyceum sambil berjalan mondar-mandir di bawah naungan pohon. Mereka kemudian dikenal sebagai kaum Peripatetik, yang secara harfiah berarti “mereka yang berjalan berkeliling.” Aristoteles percaya gerak tubuh memicu gerak pikiran, dan terbukti, fondasi logika Barat lahir dari diskusi-diskusi sambil berjalan ini.

Jean-Jacques Rousseau dalam Confessions mengakui, “Saya hanya bisa berpikir ketika saya berjalan. Begitu saya berhenti, saya berhenti berpikir.” Karya terakhirnya, Reveries of a Solitary Walker, menjadi fondasi gerakan Romantisisme di Eropa. Begitu pula dengan Friedrich Nietzsche, pejalan kaki fanatik yang menghabiskan 8 jam sehari di pegunungan Alpen. Karya monumentalnya, Thus Spoke Zarathustra, lahir dari pendakian-pendakian itu. Nietzsche bahkan dengan tegas menyatakan, “Hanya pikiran yang lahir dari berjalanlah yang memiliki nilai.”

Kesan yang sama ditinggalkan oleh Henry David Thoreau melalui esainya, Walking (1862). Ia memandang jalan kaki ke alam liar sebagai cara membebaskan diri dari belenggu komersialisme. Esai ini kemudian menginspirasi gerakan lingkungan hidup dan pembangkangan sipil Martin Luther King Jr. Tak heran jika Nietzsche menyimpulkan: “Semua kebenaran besar ditemukan saat berjalan.”

Melangkahkan kaki, menangkap dan merekam memori Samarinda setahun lagi ke depan

BACA JUGA : Negeri Sawit

“Sudahkah Anda berjalan dan menemukan cerita hari ini? Mari bergabung di Susur Gang Samarinda berikutnya!”

Sudah setahunan, sekelompok warga Samarinda mencoba merajut tradisi ini melalui “Susur Gang Samarinda” (SGS). Seminggu dua kali, mereka menyusuri gang-gang di lorong-lorong perkotaan. Meski bukan sebuah peziarahan formal, bibit-bibit pemikiran Aristoteles hingga Gandhi pasti berdenyut di sana. Meski bernuansa olahraga, yang terpenting dari SGS adalah interaksi dan memori yang terekam tentang dinamika kota.

Semua pengalaman itu menunggu untuk dituliskan. Michel de Montaigne menemukan bentuk esai saat ia sedang berjalan kaki. Ide menulis esai sebetulnya sederhana: proses berpikir dimulai dari hal-hal kecil yang ditemukan saat mlaku-mlaku. Setiap orang ingin menulis, dan cara paling mudah untuk memulainya adalah dengan menceritakan pengalaman dari jalan kaki yang baru saja dilakukan.

Sebab, setiap langkah kaki dalam Susur Gang Samarinda adalah goresan pena di atas kanvas aspal atau jalanan yang disemen. Saat kita menyusuri gang-gang sempit, kita sebenarnya sedang membaca kembali narasi kota yang selama ini tersembunyi di balik dinding-dinding tinggi atau kaca mobil yang gelap. Kita mengeja retakan trotoar, menangkap aroma selokan, hingga menyerap senyum tulus warga yang tak masuk dalam statistik pembangunan. Di sanalah, literasi bukan lagi soal tumpukan buku di rak berdebu, melainkan kemampuan kita membaca realitas yang berdenyut tepat di bawah telapak kaki kita sendiri.

Berjalan kaki bersama SGS adalah cara kita melakukan reset terhadap keangkuhan pikiran. Di dalam ruang ber-AC, kita mungkin merasa sebagai pusat dunia, namun di gang-gang pemukiman, kita hanyalah peziarah yang belajar tunduk pada keramahan dan kerumitan hidup warga. Ketundukan langkah ini membuka pintu bagi kebijaksanaan yang tak diajarkan di kampus mana pun. Jika Bung Hatta membawa 16 peti buku ke pengasingan untuk membebaskan pikirannya, maka kita di Samarinda hanya perlu sepasang kaki dan keterbukaan hati untuk membebaskan diri dari penjara rutinitas kota yang seringkali melelahkan.

Maka, jangan pernah meremehkan mereka yang terlihat sekadar “mlaku-mlaku” di SGS. Di balik langkah-langkah santai itu, sebuah revolusi kesadaran sedang terjadi. Mereka adalah para petualang kota yang sedang menjemput wahyu-wahyu kecil yang tercecer di pinggir jalan. Setiap tetes keringat yang jatuh di aspal Samarinda adalah tinta yang siap menuliskan esai tentang kemanusiaan, tentang tata kota yang lebih adil, dan tentang cinta yang hanya bisa ditemukan saat kita berani melangkah tanpa sekat protokol.

Pada akhirnya, Susur Gang Samarinda bukan sekadar cara membakar kalori, melainkan sebuah peregrinatio modern—peziarahan untuk mencari makna di tengah riuhnya dinamika kota. Menulislah setelah berjalan, sebab tulisan yang lahir dari langkah kaki tidak akan pernah berbohong. Ia akan memiliki aroma tanah, hembusan angin, dan kejujuran perjumpaan. Teruslah melangkah bersama SGS, temukan kebenaranmu di sudut-sudut gang itu, lalu abadikan ia dalam tulisan. Sebab seperti kata Nietzsche, hanya pikiran yang lahir dari perjalananlah yang benar-benar memiliki nilai abadi bagi jiwa kita dan bagi kota ini.

note : sumber gambar – SUSUR GANG SAMARINDA