KESAH.ID – Di dalam memori saya sudah tercatat kalau hujan jangan lewat Jalan Pasundan. Hingga kemudian saya tak terlalu taat pada ungkapan “Kalau hujan jangan lewat Jalan Mugirejo, apalagi berdiam di dalamnya kalau ingin pulang,”. Dan genangan di Jalan Mugirejo memang lebih dahsyat daripada Jalan Pasundan. Bisa berjam-jam untuk menunggu surutnya. Beruntung saya hanya menunggu surut, sementara warga disana begitu surut mesti bekerja keras membersihkan sisa-sia sedimen yang terbawa larut bersama datangnya air permukaan yang mengalir deras.
Saya bukan orang yang rajin bangun pagi. Dulu sewaktu di asrama, teman-teman saya sering berteriak “Dapat salam dari Yesus” karena saya sering tak terbangun untuk ibadah pagi.
Tapi kini sekurangnya dari hari Senin sampai hari Jum’at, saya mesti bangun selambatnya jam 6.30 pagi hari karena mesti mengantar anak ke sekolah alias ternak, ngeterke anak.
Karena anak saya sekolahnya hanya lima hari dalam seminggu, maka hari Sabtu dan hari Minggu saya bisa meneruskan kebiasaan bermalas-malasan bangun pagi. Tapi di luar sana tentu saja banyak orang yang rajin bangun pagi dan salah satu diantara mereka terkadang ada yang berkirim pesan pada saya di pagi-pagi hari.
Ketika saya terbangun dan menenggok HP, yang pertama saya lakukan adalah membalas pesan dengan pemberitahuan bahwa saya baru bangun, biar yang berkirim pesan tak menganggap saya slow respon.
Hari Sabtu lalu, pagi-pagi sekali seorang teman mengirim pesan bahwa dirinya baru pulang dari IKN. Lebih tepatnya kunjungan ke IKN telah selesai dan punya waktu sehari sebelum pulang kembali ke Ibukota Jakarta.
Pesan itu mungkin dikirimkan olehnya dalam perjalanan dari IKN ke Kutai Kartanegara.
“Sore kita ngopi-ngopi ya,”
Rencananya sepulang dari Kutai Kartanegara, dia akan mampir ke Samarinda sebelum kembali lagi ke Sepinggan, Balikpapan.
Saya mengiyakan dan mulai mengatur jadwal. Pagi ngopi di tepi Karang Mumus, Jalan Abdul Muthalib, siang ke Lubuk Sawah dan sore ngopi dengan teman yang telah selesai berkunjung ke IKN yang konon untuk menyertai Nyoman Nuarta.
Sekitar jam 2 siang, saya ke Lubuk Sawah. Mentari masih terasa panas menyengat.
Sampai di sekitar Jalan PM Noor, saya melihat ada semburat hitam pekat dilangit yang pelan-pelan melebar.
Sepertinya hujan mau turun. Tapi sepertinya tidak akan lebat dan lama seperti kebiasaan hujan akhir-akhir ini. Keyakinan itu menjadi lebih besar lagi karena angin terasa kencang.
Sekitar jam 4 sore teman saya kembali berkirim pesan, dia menyampaikan sudah dalam perjalanan dari Tenggarong ke Samarinda.
Dan di Lubuk Sawah hujan mulai menguyur, saya pun membalas dengan mengatakan Samarinda hujan, dan saya di Lubuk Sawah, jadi mungkin terlambat datang ke tempat ngopi.
Karena hujan kemudian sangat lebat dan nampaknya merata, teman yang sudah memasuki wilayah Samarinda mungkin mulai ragu-ragu. Jangan-jangan teman lain selain saya yang juga diajak ngopi bakal terganggu menuju tempat pertemuan.
“Iya, hujan deras. Kalau begitu saya lanjut saja ke Sepinggan,”
Ngopi dengan teman lama, teman yang berkecipung dalam kebudayaan pun kemudian batal karena hujan.
Di tengah hujan deras meski ngopi-ngopi batal, saya tetap berbincang lewat aplikasi perpesanan dengannya membincang cuaca. Hingga kemudian dia mengatakan “Kalau begitu kita bikin puisi esai saja, judulnya Atas Nama Cuaca Samarinda,”
Saya dan teman saya ini memang berada dalam satu WAG Puisi Esai Indonesia.
Sayapun menimpali “Iya, banyak catatan kakinya,”
Diapun mengirim penggalan catatan kaki “selalu ada genangan di Mugirejo kalau hujan”
Sebuah links yang berisi buku kumpulan puisinya yang diterbitkan awal tahun lalu menjadi pesan terakhir dari perbincangan kami.
BACA JUGA : Radit Janji Tak Nakal Lagi
Ketika hujan baru turun saya masih yakin bisa pulang sekitar jam 6 atau jam 7 malam. Tapi belum lama keyakinan itu muncul tak lama kemudian timbul keraguan. Langit kelabu di sepanjang penjuru, dan hujan seperti menderu-nderu bercampur dengan bunyi petir yang menyambar-nyambar.
Hampir dua jam hujan mengguyur dan pasti sepanjang Jalan Mugirejo ada banyak genangan meski rerata jalannya telah dua kali dinaikkan dengan cor-cor-an semen.
Ketika hujan hanya menyisakan rintik, saya bergegas meninggalkan Lubuk Sawah. Dalam bayangan saya, nanti saya akan menunggu air surut di ujung jalan Mugirejo ke DI Panjaitan.
Bayangan saya salah, belum setengah kilo meninggalkan Lubuk Sawah, halangan segera tampak di depan mata. Persis di depan Taman Salma Shofa, air dari saluran kanan kiri jalan meluap, menutupi jalanan hampir sepanjang 30 – 40 meteran.
Di kedua ujungnya banyak kendaraan berhenti, artinya genangan airnya cukup dalam.
Hampir satu jam saya berdiri di ujung genangan, menunggu air surut. Tapi air tak surut-surut juga. Lalu motor saya tinggalkan, bersama seorang teman kami menerobos genangan air yang tingginya selutut menuju Jukut Etam, tempat pemancingan di samping Taman Salma Shofa. Kopi hitam kami pesan di kafetaria yang sebenarnya sudah tutup.
Hampir satu jam kami berbincang di Jukut Etam. Merasa air sudah mulai surut kamipun kembali ke tempat motor kami tinggalkan. Ternyata air belum surut, masih setinggi lutut. Halaman depan Taman Salma Shofa masih tergenang rata, bahkan hingga di dalamnya.
Kami berencana nekat menembus genangan, di bagasi motor saya banyak tas plastik untuk menutupi knalpot saat motor didorong melewati genangan. Tapi sebelum rencana menerobos genangan itu terwujud, seorang teman dari Lubuk Sawah menyambangi.
“Ayo ke rumah lagi. Bukan cuma disini yang dalam, banyak titik lainnya terutama di dekat Gang Asadah, ada air bah,” ujarnya.
Kamipun kembali ke Lubuk Sawah, dekat penghabisan jalan cor-cor-an.
Hampir dua jam kami berbencang di teras rumah dalam sepi, karena tak ada kendaraan lalu lalang.
Ketika mulai ada satu dua motor yang mulai lewat di jalanan, kamipun bergegas kembali meninggalkan Lubuk Sawah.
Dan benar, genangan di jalan depan Taman Salma Shofa sudah surut, tapi genangan air masih nampak di halaman. Saya dan teman seperjalanan bisa lewat dengan lancar. Sesekali ada genangan air di jalanan namun tak terlalu tinggi jadi tak menganggu perjalanan.
Dalam batin saya mulai ada keyakinan bahwa saya bisa segera pulang ke rumah.
Tapi keyakinan itu kembali sirna, di depan Perumahan Permata, ada kemilau panjang. Ternyata genangan air belum surut dan dalam. Beberapa motor yang mencoba menerobosnya mati atau batuk-batuk hingga mesti berhenti.
“Mesti ganti oli nanti,” ucap orang yang berdiri di sebelah melihat kenekatan pengendara lain menembus genangan.
Waktu sudah melewati pukul 9 malam, perut terasa mulai meronta-ronta.
Beruntung ada teman di Perumahan Permata yang bisa disinggahi. Dan sepiring nasi serta semangkok mie goreng serta teh hangat menjadi pelipur lara bagi duka karena genangan yang tak segera surut.
Kurang lebih satu setengah jam kami berbincang untuk menunggu air surut. Ternyata genangan masih ada namun sudah cukup aman untuk dilewati walau lumayan beriak dan berombak ketika berpapasan dengan kendaraan lainnya.
Kurang lebih ada 3 genangan air yang mesti diterobos, dan setelah itu jalanan hingga menjelang DI Panjaitan dipenuhi dengan sedimen berupa pasir halus. Untung saja cukup padat sehingga motor tak ngesot-ngesot ketika melewatinya.
BACA JUGA : Pupuk Terbaik Itu ‘Kotoran’
Pagi hari di postingan facebook seorang kawa nada sebuah meme bertuliskan “Apa jar ku, jangan lewat Mugirejo” {kalau hujan}. “Gak usah banyak kesah, dorong terus sampai Lubuk Sawah”.
Saya tersenyum kecut, merasa melanggar himbauan agar tak ke Mugirejo kalau ada tanda-tanda hujan mau turun. Keyakinan bahwa hujan tak akan lebat tak lebih dari ilusi, karena lebat atau tidak hanya bisa diprediksi, diharap-harap, tapi tak bisa dikendalikan.
Jujur yang saya khawatirkan ketika hujan mulai turun adalah genangan cukup dalam pada ruas sebelum masuk ke Jalan DI Panjaitan, jalannya memang di bawah trotoar atau got yang diberi penutup.
Saya hampir tak punya referensi kalau di dalam justru yang lebih dalam dan surutnya lebih lambat.
Saat menunggu air surut di depan Taman Salma Shofa, dua saluran air di kanan kiri jalan penuh meluber-luber dengan aliran air yang deras. Dua jam lebih tak habis-habis seolah ada air yang terus digelontorkan dari atas sana.
Saya kemudian teringat konsepsi DAS, perbukitan perbukitan yang terhubung dan kemudian mengalirkan aliran air permukaan ke bagian perlembahannya.
Dalam batin saya mengatakan “Mestinya ada anak sungai di wilayah ini,”
Bisa jadi memang ada tapi terlupakan hingga tak terawat dan terpelihara atau bahkan berubah fungsi hingga dikira hanya parit biasa.
Konon memang ada puluhan anak atau cucu sungai yang hilang di Samarinda, demikian juga kanal-kanal besar yang dulu pernah dibuat kolonial Belanda tatkala Samarinda disebut oleh mereka sebagai Amsterdam Kecil.
Bahkan di kampung-kampung atau wilayah permukiman yang namanya didahului dengan sebutan sungai atau sei, bisa jadi sungainya tak lagi dikenali.
Mugirejo, nama itu adalah sebuah doa atau harapan, semoga ramai.
Nampaknya doa pertama para perintis itu terkabul. Wilayah permukiman itu kini sungguh ramai dengan penduduk yang sebagian masih memelihara tradisi bertani dan berternak, baik dalam skala personal maupun industrial.
Di ujung jalan bagian dalam Mugirejo ada Lubuk Sawah. Lubuk sendiri adalah istilah yang merujuk pada wilayah ekologis terendah dari daerah atau kawasan perairan. Cekungan terdalam dari sungai misalnya disebut sebagai lubuk. Saat sungai surut mulai kering cekungan-cekungan itu masih berisi air dan biasanya menjadi tempat ikan berkumpul.
Bisa jadi kawasan Lubuk Sawah adalah wilayah terendah karena dikelilingi perbukitan-perbukitan, tempat air mengalir dan mengenang, hingga ketika surut genangannya meninggalkan sedimen atau lahan basah yang kemudian dipakai bersawah. Lubuk Sawah berarti sawah di daerah cekungan, atau cekungan yang kemudian menjadi persawahan.
Entahlah mana yang benar, yang pasti setelah dua puluh tahun lebih, Sabtu lalu { 16 Desember 2023} menjadi kali pertama saya merasakan jebakan genangan Mugirejo yang ternama. Genangan yang katanya lebih parah dari biasanya karena ada tanggul jebol hingga air bah atau banjir bandang mengguyur salah satu wilayahnya.
Soal air kita memang tak boleh merasa jumawa. Bisa jadi kita telah berupaya, mengatur-atur air dengan sekuat tenaga dan sebanyak mungkin anggaran. Tapi atas nama cuaca di Samarinda sebaiknya hindari mengatakan ‘…. tak banjir lagi…” karena tak banjir di satu tempat bisa jadi karena mengirimkan banjir ke tempat lainnya.
note : sumber gambar – BUSAM.ID







