KESAH.ID – Dalam politik isu lingkungan hidup merupakan isu non divisif artinya tidak punya potensi untuk membelah pemilih dalam dua blok yang ekstrim. Isu pelestarian alam, keberlanjutan bumi adalah isu yang akan diterima oleh semua pemilih. Namun hingga pemilu 2024 nanti tidak ada satupun partai peserta pemilu yang mengangkat isu lingkungan hidup sebagai isu atau agenda politik utamanya.
“Apa yang ditakuti oleh dunia saat ini bukan pandemi, bukan lagi perang, tetapi yang lebih mengerikan, yang ditakuti semua negara adalah perubahan iklim,” kata Jokowi, Kamis lalu {2/3/2023}.
Presiden Jokowi mengucapkan hal itu pada sambutan pembukaan Rapat Nasional Penanggulangan Bencana sebagaimana disiarkan melalui kanal Youtube Sekretariat Negara.
Benar, pengalaman bersama menghadapi pandemi Covid 19 menunjukkan masyarakat dunia lebih mampu bekerjasama sehingga pengetahuan dan teknologi dengan cepat berhasil menemukan vaksin untuk mencegahnya. Pandemi Covid 19 menjadi pandemi yang paling cepat diatasi secara bersama dibanding dengan pandemi karena virus-virus lainnya.
Perang juga berubah, tidak ada lagi perang massal meski konflik disana-sini masih terus terjadi. Perang dunia sudah berubah, menjadi perang ekonomi, perang teknologi, perang kebudayaan atau gaya hidup.
Walau banyak negara memodernisasi mesin perang, senjata pemusnah massal telah ditemukan namun lebih banyak dipakai untuk latihan. Peluru kendali atau rudal dengan kepala nuklir bahkan lebih sering menimbulkan perang mulut ketimbang perang beneran.
Berbeda dengan perubahan iklim, semua negara, semua bangsa akan merasakan akibatnya. Dampaknya terhadap kelestarian alam, ruang hidup bersama sudah tidak bisa dibantah lagi lewat kejadian bencana alam yang makin sering, krisis energi, ancaman krisis pangan dan masalah-masalah lingkungan lain yang kian membahayakan kehidupan bersama.
Terlena oleh energi minyak, gas alam dan batubara, kini dunia sadar bahwa cadangan energi itu tidak lama lagi akan habis. Cadangan minyak mungkin hanya akan bertahan hingga tahun 2050-an, gas alam akan habis pada tahun 2060-an sementara batubara cadangannya akan tak tersisa lagi pada tahun 2090-an.
Jika sampai dengan tahun itu dunia belum bisa menyediakan sumber energi baru yang setara dengan minyak, gas alam dan batubara maka kehidupan akan berantakan.
Sudah cukup lama dunia menyadari hal ini. Ada berbagai macam upaya bersama yang telah dilakukan baik oleh pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat sipil. Sudah lama kita akrab dengan istilah pembangunan berkelanjutan, ekonomi hijau, energi baru dan terbarukan, mitigasi iklim, penurunan emisi karbon, perdagangan karbon, dana karbon dan lain-lain.
Dari sudut kebijakan, pemerintah telah mengimplementasikan berbagai macam standar untuk mengurangi emisi karbon lewat dukungan pada pengembangan bio energi, kendaraan listrik dan lain-lain. Namun kecepatan laju kebijakan dibandingkan dengan perkembangan masalah perubahan iklim tidak setara.
Masalah perubahan iklim adalah masalah kumulatif, problemnya sudah dimulai sejak jaman revolusi industri. Dampak dari aktivitas manusia modern terhadap kelestarian dan keberlanjutan alam sudah sedemikian dalam.
Meski isu pemanasan global atau perubahan iklim sudah menjadi kesadaran bersama, bahkan menjadi branding bagi pemerintahan di berbagai tingkatan. Namun secara politik, isu ini belum menjadi isu mainstream bagi partai politik yang menjadi penyangga utama sistem politik negara dan pemerintahan.
Di Indonesia, partai politik yang jumlahnya banyak terlebih menjelang pemilu tak ada satupun yang getol menyuarakan isu lingkungan sebagai platform dasar perjuangannya. Kebanyakan partai lebih suka mengedepankan masalah ekonomi dan kesejahteraan sebagai jualan utama untuk meraih popularitas dan elektabilitas.
Partai Kebangkitan Bangsa di tahun 2007 pernah mendeklarasikan diri sebagai Partai Hijau. Komitmen itu kemudian diperkuat lewat payung regulasi dalam Muktamar ke 4 pada tahun 2014. Namun jika ditelusuri lebih dalam ternyata tidak ada program khusus yang dipersiapkan oleh PKB untuk menunjukkan dirinya sebagai partai hijau, partai yang mengedepankan isu lingkungan.
Jati diri PKB sebagai partai hijau baru terwujud dalam atribut yang serba hijau.
BACA JUGA : Kalau Tak Pamer Nggak Bakal Laku
Pada pemilu 2024 nanti akan ada 18 partai peserta pemilu nasional, yakni Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golongan Karya, Partai Nasional Demokrat, Partai Buruh, Partai Gelombang Rakyat Indonesia, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Nusantara, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Garda Perubahan Indonesia, Partai Amanat Nasional, Partai Bulan Bintang, Partai Demokrat, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Persatuan Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Ummat.
Dilihat dari platform dan garis perjuangannya, partai-partai yang mengikuti pemilu 2024 nanti umumnya masuk dalam dua golongan besar yakni partai religius dan partai nasionalis. Dengan variasi nasionalis religius, nasionalis sosialis dan sosialis religius.
Tidak ada satupun partai yang secara tegas-tegas membawa platform atau visi misi yang memperjuangkan kepentingan lingkungan hidup atau alam. Semua partai bercorak antroposentris, hanya memperjuangkan kepentingan rakyat, masyarakat atau konstituennya.
Bahwa kepedulian masyarakat dan pemerintah terhadap lingkungan mulai meninggi hal itu tidak cukup untuk membuat isu lingkungan menjadi isu mainstreams karena dalam pertarungan politik akan dikalahkan oleh kepentingan praktis dan pragmatis demi masyarakat atau konstituen.
Isu lingkungan kemudian menjadi isu pinggiran, isu penghias bibir para politisi karena mereka lebih suka menjanjikan atau memberikan hal-hal yang lebih kelihatan nyata di mata masyarakat seperti bantuan sosial, pembangunan jalan, jembatan, perbaikan permukiman dan lain-lain.
Suara atau kepentingan lingkungan menjadi kurang kuat karena tidak ada organ atau elemen kekuatan politik resmi yang menyuarakannya. Suara alam, kepentingan lingkungan hidup hanya kencang dalam demonstrasi. Yang walau diterima oleh para pembuat kebijakan dan undang-undang, pesan-pesan yang disampaikan umumnya hanya akan ditampung namun kemudian diabaikan.
Maka keberadaan partai politik yang mengibarkan bendera sebagai partai hijau, partai yang akan menjadi juru bicara dari lingkungan hidup dan alam menjadi sebuah keniscayaan jika kita ingin laju kerusakan lingkungan bisa ditekan secara bermakna dan kemudian lingkungan kembali dipulihkan.
Kehadiran partai hijau secara filosofis mendesak mengingat Indonesia adalah negara kepulauan dengan keragaman aspek lingkungan baik lingkungan biologis maupun non biologis yang beragam namun rentan terhadap kerusakan.
Sementara secara sosiologis kehadiran partai yang mengusung semangat membela kepentingan lingkungan hidup atau alam menjadi penting karena krisis lingkungan dan ekologis yang semakin parah akan mengancam eksistensi masyarakat atau warga negara Indonesia.
Laporan dari Badan Penanggulangan Bencana Nasional menunjukkan kejadian bencana dari tahun ke tahun semakin meningkat. Bukan hanya kejadiannya melainkan juga korban dan kerugiannya. Bencana-bencana ini tidak akan bisa dimitigasi secara paripurna apabila tidak ada kebijakan politik yang kuat yang disuarakan dan diperjuangkan secara radikal oleh partai hijau.
BACA JUGA : Normalisasi Yang Tidak Normal
Upaya untuk mendirikan partai hijau sebenarnya sudah dilakukan. Yang pertama pada tahun 1998 oleh Widyatmoko, Dosen Fakultas Teknik Lingkungan Universitas Trisakti dan Heruwasto, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Partai Hijau didaftarkan untuk menjadi peserta pemilu 1999, namun gagal memenuhi persyaratan.
Wahana Lingkungan Hidup dan lembaga lingkungan lain juga memikirkan untuk mendirikan partai hijau setelah kejatuhan regim Suharto. Namun memutuskan untuk menunda deklarasinya dengan terus melakukan pematangan rencana.
Walhi dan kawan-kawan kemudian membentuk Badan Pekerja Persiapan Pembangunan Organisasi Politik Kerakyatan pada tahun 2005. BP3OPK ini mengeluarkan 3 rekomandasi yakni 1. Membangun partai hijau; 2. Membangun organisasi masyarakat; dan 3. Melakukan diaspora politik melalui perangkat politik yang telah ada.
Berdasarkan resolusi Konsultasi Nasional Lingkungan Hidup pada tahun 2006, Walhi kemudian membentuk Blok Politik Hijau. Tujuannya menyatukan aktivis lingkungan, politisi dan anggota legislatif untuk mendorong penguatan agenda politik hijau.
Dan pada tahun 2007 sejumlah aktivis lingkungan hidup kemudian mendeklarasikan Organisasi Massa Sarekat Hijau Indonesia. Lalu pada tahun 2012, di Bandung dilakukan deklarasi Partai Hijau Indonesia bersamaan dengan keputusan Sarekat Hijau Indonesia untuk tetap menjadi Ormas.
Regim pemilu multipartai sejak tahun 1999 hingga 2024 nanti bisa dipastikan belum akan diikuti oleh Partai Hijau. Walau setiap kali pemilu ada partai baru, namun tidak satupun partai yang mengusung politik hijau lolos sebagai peserta pemilu.
Padahal jika dilihat dari permasalahan dan kepedulian masyarakat seharusnya secara politik partai yang mengangkat isu lingkungan sebagai platform utama politiknya mempunyai prospek politik elektoral yang cerah.
Isu lingkungan adalah isu yang non divisif artinya mampu menyatukan semua kelompok dalam satu kepentingan yang sama, kepentingan universal yakni melestarikan bumi dan memastikan keberlanjutan umat manusia hingga masa mendatang.
Tidak ada satupun warga negara yang mempunyai hak pilih akan membantah bahwa bumi perlu dijaga, perlu dipulihkan lewat politik hijau atau politik lingkungan. Isu lingkungan atau pelestarian alam juga akan terbebas dari prasangka baik ideologis, religi dan ekonomi karena sistem apapun pasti menghendaki kelestarian lingkungan hidup.
Selama ini partai berlomba-lomba untuk mengambil suara dari kelompok anak-anak muda yang jumlahnya kian meningkat. Bonus demografi ini belum dimanfaatkan lewat isu lingkungan hidup. Padahal anak-anak muda adalah generasi yang melek masalah lingkungan dan mempunyai kecenderungan untuk lebih peduli pada persoalan lingkungan hidup karena mereka telah merasakan dampak kerusakan ekologis yang mengancam masa depannya.
Pada pemilu 2024 nanti jumlah pemilih muda akan mendominasi. 60 persen pemilih adalah generasi yang berumur antara 17 – 30 tahun. Suara mereka potensial untuk digaet dengan mengedepankan isu politik lingkungan.
Sayangnya partai-partai peserta pemilu lebih suka mengaet suara pemilih muda dengan isu-isu politik divisif, isu sektarian yang berpotensi membuat persaingan politik menjadi panas. Partai Politik lebih senang memainkan politik biner karena akan menghasilkan pemilih yang fanatik. Amat menyukai yang dipilih dan kemudian amat benci pada yang tak dipilih.
Pendidikan politik yang gencar dilakukan semenjak memasuki masa reformasi bertujuan untuk mendorong pemilih rasional dan cerdas. Namun praktek politik kita terutama praktek politik elektoral selalu berwatak emosional. Sehingga populisme lebih menarik sebagai perilaku politik untuk menggaet suara pemilih.
Jangan-jangan semua partai yang bertarung dalam pemilu hingga pemilu 2024 nanti walau berbeda platform politiknya nampaknya punya kesamaan yakni tak ingin para pemilih menjadi pemilih yang rasional dan cerdas.
note : sumber gambar – INDOPROGRESS.COM