KESAH.ID – Salah satu aksi kreatif yang jarang disorot adalah cara promosi para pedagang keliling lewat produksi suara baik melalui alat maupun vokal. Padahal sejarah panjang telah membuktikan metode komunikasi kreatifnya mampu membuat mereka bertahan bertahun-tahun menjajakan barang dagangannya untuk menopang hidup diri dan keluarganya. Mereka juga telah menghiasi jaman dengan menyajikan lingkungan bunyi yang memacu interaksi antar warga dalam ekosistem belanja non online.
Mbah Wetan dan Mbah Kulon, begitu kami {saya dan adik-adik saya} membedakan antara kakek nenek dari pihak bapak dan pihak ibu.
Mbah Wetan adalah orang tua dari bapak saya, rumahnya di sebelah timur dari tempat tinggal kami. Kami sering menyebutnya sebagai gunung, karena terletak di perbukitan Menoreh bagian barat sisi selatan.
Sedangkan Mbah Kulon adalah orang tua dari ibu saya, rumahnya di sebelah barat dari tempat tinggal kami. Berada di perkotaan karena dekat dengan stasiun kereta api besar, Kutoarjo.
Wetan ndeso, kulon kuto. Dan rumah kami berada di tengah-tengah, nggak terlalu desa, nggak terlalu kota.
Saat liburan tiba, saya dan adik-adik biasanya akan berlibur ke rumah Mbah, kalau tidak ke rumah Mbah Kulon ya ke rumah Mbah Wetan, bergantian.
Berlibur ke rumah Mbah Kulon dan Mbah Wetan sama-sama menyenangkan walau beda suasana.
Di rumah Mbah Kulon saya akan bermain dengan anak-anak tetangga, mandi dan bermain di Kali Jali, pergi ke Stasiun Kereta Api, membuat pisau dari paku yang dilindaskan di roda kereta api.
Sesekali kami tawuran dengan anak-anak seberang rel. Saya masuk dalam grup anak kidul sepur, yang kami hadapi anak-anak lor sepur. Kami berkelahi karena rebutan memakai lapangan sepakbola.
Kelak sebagian anak-anak yang menjadi teman maupun lawan tawuran akan menjadi teman sekolah ketika saya duduk di bangku SMA.
Yang menyenangkan saat liburan di rumah Mbah Kulon, setiap hari saya akan diberi uang jajan. Mbah Kakung yang bekerja di PJKA, setiap kali pulang ke rumah akan membagi uang logam untuk cucu-cucunya. Sesekali Mbah Kakung juga akan mengajak piknik naik kereta, bolak-balik dari Stasiun Kutoarjo dan Stasiun Tugu Yogyakarta.
Dari rumah Mbah Kulon ini kesukaan saya minum kopi tumbuh. Mbah Putri tahu saya tak suka minum susu, jadi dia akan membiarkan saya minum kopi, kopi tubruk bermerk Cap Munthu. Kopi legendaris dari Kutoarjo.
Hal lain yang menyenangkan adalah listrik. Sewaktu sambungan listrik di kampung saya belum ada, di rumah Mbah Kulon listrik sudah lama menyala karena rumahnya tak jauh dari Stasiun Kereta Api, kompleks PJKA.
Listiknya memang masih 110, kalau kesetrum rasanya seperti digigit semut. Beda dengan listrik 220 yang nanti terpasang di rumah saya, yang rasanya seperti ditarik dengan kencang kalau kena setrumnya dan setelah itu meninggalkan rasa kram yang berat.
Suasana di sekitar tempat tinggal Mbah Kulon memang lebih suasana perkotaan, lingkungannya diwarnai oleh bunyi-bunyi lalu lalang kendaraan serta nyanyian rutin lalu lalang kereta api dengan bunyi klakson yang keras saat mau masuk atau keluar dari stasiun.
Kebalikan dengan suasana di sekitar rumah Mbah Wetan yang berada di perdesaan, ndeso karena berada di perbukitan yang jauh dari kota. Bahkan sebelum ada jalan aspal, saya harus jalan kaki beberapa kilo untuk menuju rumahnya. Jalannya berkelok-kelok, naik turun dan berbatu-batu.
Di tengah perjalanan biasanya kami akan mampir di tempat penyulingan daun cengkeh, untuk mengoles kaki dengan air yang ada di bak pembuangan limbah sulingan. Airnya berbau wangi dan terasa hangat di kulit, cukup untuk menurunkan rasa pegal di kaki.
Kami juga akan mampir ke warung persinggahan. Warungnya Mbah Tilah yang berada sebelum tanjakan tinggi Kali Kotak, di warung itu biasanya saya akan minum limun tanpa es.
Suasana di rumah Mbah Wetan jauh lebih tenang, hampir tak ada bunyi-bunyian selain suara alam dan bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh aktivitas rumah tangga. Di sana saya akan bermain dengan saudara-saudara sepupu, tetangga lainnya berjauhan. Rumah Mbah Wetan berdekatan dengan rumah tiga Pak Dhe saya dan satu Pak Lik saya.
Dari lingkungan rumah Mbah Wetan, saya menjadi akrab dengan suara binatang peliharaan, mulai dari ayam, bebek, menthok hingga kambing peranakan etawa {PE}.
Kalau di rumah Mbah Kulon saya diperbolehkan minum kopi sesukanya, di rumah Mbah Wetan tak akan dimarahi kalau saya dan saudara-saudara sepupu yang masih kanak-kanak mulai klepas-klepus menghisap tembakau.
Di rumah Mbah Wetan ini pulalah saya untuk pertama kalinya minum susu wedhus, susu yang diperah dari kambing PE betina. Saya minum sambil menutup hidung rapat-rapat karena tak tahan bau prengus-nya. Sampai sekarang Kecamatan Kaligesing dikenal sebagai penghasil kambing PE terbesar di Jawa Tengah.
BACA JUGA : Si Agnes Yang Ini Bukan Monica
Setiap tempat selalu mempunyai bunyinya sendiri, lingkungan bunyi-bunyiannya berbeda. Semakin ke perkotaan lingkungan bunyi yang dihasilkan semakin non organik. Di perkotaan bunyi yang dominan adalah bunyi buatan, bunyi karena aktivitas masyarakat sehingga suara alam tenggelam.
Karenanya masyarakat perkotaan kemudian sering meluangkan waktu untuk piknik, pergi ke perdesaan atau destinasi wisata alami agar bisa healing. Menikmati pemandangan dan suasana alam, keluar dari keriuhan agar bisa mendengarkan suara desir angin, rintik hujan, gemericik air, kepak suara sayap burung terbang, nyanyian serangga dan suara lamat-lamat binatang lainnya dari kejauhan.
Namun sebaliknya, orang desa yang lama terkurung dalam sepi juga akan rindu dan punya mimpi pergi ke kota untuk melihat keramaian. Deru dan debu jalanan, bangunan tinggi, siang dan malam yang sama-sama terang.
Orang kota pergi untuk menikmati desa, orang desa pergi untuk mengagumi kota. Dan salah satu faktor penting untuk merasakan keberadaan adalah lingkungan bunyi. Maka pendengaran menjadi kunci untuk merasakan eksistensi kita disebuah tempat.
Telinga sebagai indera atau alat untuk menangkap bunyi relatif lebih aktif ketimbang indera-indera lainnya. Penglihatan bisa dihentikan dengan cara menutup mata, ketika tidur indera penglihatan juga tidak bekerja. Jika orang merasa menglihat dalam tidur itu artinya mimpi.
Penglihatan juga bisa bias, karena terkadang orang bisa melihat apa yang tidak kelihatan dimata orang lain, melihat yang tidak ada di depannya. Itu namanya halusinasi.
Lain halnya dengan telinga bahkan ketika tidur sekalipun meski tak sekuat sewaktu terjaga, telinga masih bekerja. Maka orang tidur biasanya bisa dibangunkan dengan suara, yang paling favorit untuk membangunkan adalah jam beker.
Kata beker diserap dari wekker, bahasa Belanda yang artinya pembangun. Jam beker adalah jam yang dilengkapi dengan lonceng {alarm} yang bisa disetel untuk berbunyi pada jam, menit dan detik tertentu. Beker akan berbunyi lewat getaran.
Bunyi memang berasal dari getaran {gerakan} dari apapun yang ada disekitar kita. Getaran itu akan dirambatkan lewat udara atau benda padat disekitar kita sehingga akan sampai di telinga sebagai bunyi.
Dan bunyi selalu tidak bersifat netral. Semua ada maknanya.
Lingkungan bunyi atau totalitas bunyi disekitar kita disebut sebagai soundscape. Dimana bunyi pada sebuah lokasi selalu mempunyai relasi antara persepsi, pengertian dan interaksi baik individu maupun masyarakat dengan lingkungan bunyinya.
Berada dalam lingkungan tertentu, memori kita akan menyimpan bunyi-bunyian. Lingkungan yang akrab dengan kita bunyiannya tidak akan membuat kita khawatir. Tapi berada dalam lingkungan yang baru dengan bunyi-bunyian yang asing akan membuat kita bertanya-tanya dan sebagian akan menimbulkan kekhawatiran. Bunyi yang tidak teridentifikasi atau bunyi yang asing memang akan membuat khawatir, siapa tahu itu bunyian yang merupakan tanda bahaya.
Bunyi juga mempunyai nada, irama atau intonasi. Darinya kita bisa memperoleh persepsi tertentu dan menangkap maknanya. Kata yang sama, misalnya “Aku sayang padamu.” bisa punya arti atau makna berbeda, tergantung pada pengucapannya. Jika diucapkan datar saja, itu adalah kebiasaan atau basa-basi, namun jika diucapkan dengan lembut penuh rayuan jelas akan menenangkan hati dan membuat otak segera memerintahkan untuk memproduksi dopamine, diripun jadi senang.
Aku sayang padamu bahkan bisa jadi ungkapan benci atau ketidaksukaan, jika diucapkan dalam nada dan irama penuh kemarahan, kekecewaan dan lainnya.
Seseorang yang buta, asalkan tidak tuli dengan memori bunyinya akan segera bisa mengenali dia tengah berada di mana. Soundscape bisa menjadi penanda lokasi, ruang atau tempat.
BACA JUGA : Api Senjata Pertama Manusia Menguasai Bumi
Sepertinya halnya landscape yang bisa direkayasa untuk menghadirkan suasana, rasa dan lingkungan tertentu, soundscape pun demikian.
Salah satu rekayasa kreatif soundscape yang lazim ditemukan diberbagai tempat dilakukan oleh para pedagang keliling, baik pedagang yang in cash maupun kreditan.
Setiap pedagang mempunyai teknik ungkap atau produksi bunyi masing-masing untuk menunjukkan identitasnya. Bunyi bisa dihasilkan lewat vokal atau alat tertentu untuk mempromosikan jualannya.
Di Manado, penjual makanan campuran antara tahu goreng dan lontong yang disiram dengan bumbu kacang serta petis ditambah dengan kecambah, irisan kol atau ketimun dan dilengkapi telur goreng juga kerupuk disebut ketoprak. Pedagangnya berkeliling memakai gerobak dorong dengan bunyi bel terompet yang dipencet.
Namun di Samarinda, makanan yang sama akan disebut sebagai tahu tek tek, karena pedagangnya berkeliling mempromosikan dagangannya sambil memukul-mukul wajan, sekilas bunyinya terdengar tek tek tek.
Pedagang bakso pada umumnya mempromosikan dagangannya dengan bunyi ting ting, bunyi yang dihasilkan dari pukulan sendok ke mangkuk beling.
Penjual es serut atau es cream puter buatan sendiri dikenal oleh anak-anak sebagai es tung tung, ada juga yang menyebut es dung dung atau es pung pung. Sebutan itu berasal dari pukulan pada kenong yang digantung di tiang sorongan gerobak.
Namun es yang sama akan disebut lain karena bunyi yang diproduksi berasal dari alat yang berbeda. Sebutan es tong tong bisa jadi berasal dari bunyi yang dihasilkan oleh ketongan yang ditabuh oleh pedagang keliling.
Sedangkan es buatan pabrik yang didagangkan keliling akan disebut berdasarkan mereknya. Karena yang menjajakan melengkapi diri dengan alat elektronik sederhana untuk memutar jingle berisi lagu dan musik untuk mempromosikan dagangannya.
Kebanyakan penjual roti juga melakukan hal yang sama. Termasuk penjual bakpao ayam di Samarinda yang memutar musik tut tit tut tit disertai suara “Bakpao ayam kota tepian, bakpao ayam kota tepian.”
Yang terasa unik adalah promosi dagangan dengan vokal yang diproduksi sendiri oleh pedagangnya. Cara seperti ini umumnya dilakukan oleh penjual sayur keliling, penjual jamu, penjual cemilan atau jajanan pasar, tukang kredit dan lain-lain.
Masing-masing pedagang akan menggunakan lantunan suara yang berbeda untuk menunjukkan identitasnya. Ada yang menyebut semua dagangannya “Dai..wadai… sanggar pisang, lumpia, lemper, belapis, donat, untuk untuk, dai wadai,”
Menyebut secara lengkap apa yang didagangkannya, penjual selain menunjukkan eksistensi diri juga berupaya memikat yang mendengar dengan memberi pilihan-pilihan.
Yang sering menyebut dengan lengkap yang didagangkannya juga tukang sayur. Bukan hanya keliling dan meneriakkan “Yur…sayur …sayur bu.” Tapi juga menyebut “Yur …sayur ….sayur bu, ada ikan, udang, ayam, tahu bakso, tempe gembus ….ada juga bumbu-bumbu bu. Semua segar…semua baru”
Sering kali paduan vokal yang diproduksi oleh mereka menjadi hiburan tersendiri. Seperti penjual keliling di Manado yang berteriak “Pu..sapu, sapu-sapu telur kuini.” Yang mendengar akan tersenyum, cara dia menjual sapu telur dan mangga kuwini, menghasilkan sambungan kata yang selintas terdengar nyerempet pada urusan seksual.
Meneriakkan dagangan dengan komposisi tertentu menjadi cara untuk menarik perhatian. Yang berdagang tahu kalau ketertarikan adalah awal untuk membuat keputusan, membeli atau tidak.
Dulu soundscape atau lingkungan auditif pedagang keliling hanya saya dengar di lingkungan tempat tinggal Mbah Kulon dan rumah tinggal saya di kampung yang berada antara kota dan desa.
Di lingkungan Mbah Wetan, tak ada produksi suara pedagang keliling. Dagang hanya ada di pasar tiban atau pasar-pasar yang buka hanya pada hari pasaran tertentu. Mbah Wetan tidak membeli sayur karena sayuran ada di pekarangan. Kalau ingin sayuran lain yang tak ada tinggal pergi ke rumah atau kebon tetangga untuk minta.
Rasanya tiap orang yang tinggal disana sudah hafal, kalau perlu ini dan itu pergi ke rumah siapa. Semua tahu siapa yang membuat tahu, tempe, gula jawa dan lainnya.
Sesekali ada yang menjual daging, istilah nempil. Namun dia tak akan teriak-teriak keliling kampung, melainkan bertamu dari rumah ke rumah, menawarkan dan mencatat yang didatangi akan membeli seberapa, bagian apa. Jika sudah lengkap, dia akan pulang dan memotong hewan peliharaannya. Lalu mengantar dagingnya sesuai pesanan, atau yang pesan bisa datang mengambil pada waktu yang ditentukan.
Tapi kini nada, lagu serta lantunan suara pedagang keliling ada di mana-mana, tidak hanya di lingkungan permukiman perkotaan atau kampung pinggiran. Di perdesaan pedagang keliling juga marak.
Suara pedagang keliling telah menjadi nyanyian kehidupan. Karena hidup yang sesungguhnya adalah belanja. Tanpa belanja putaran ekonomi akan lesu, saling membeli menjadi kolaborasi atau kerjasama paling essensial dalam kehidupan bersama.
Komunikasi antar warga, antar masyarakat yang kemudian paling kuat juga komunikasi marketing. Semua saling berhubungan untuk berdagang, bukan hanya dagang barang dan jasa tetapi juga dagang diri, membangun citra agar nanti kalau mencalonkan diri akan dipilih, diberi suara. Suara yang juga harus dibeli.
Memasuki tahun politik gemuruh soundscape bernuansa kontestasi sungguh tak menarik. Musikalitas para pedagang keliling jelas lebih menghibur. Walau tak selalu tertarik untuk membeli, lantunan dan produksi nada para pedagang keliling membuat kita bisa menikmati protomusikalitas yang tak kalah enjoy-nya tatkala menyaksikan pertarungan para calon bintang dalam ajang nyanyi Indonesia Idol di layar RCTI.
note : sumber gambar – DALL-E