KESAH.IDDunia sebenarnya sudah kelebihan pangan namun stok atau penghasilnya tidak merata. Ada banyak negara dan daerah yang kemudian ketahanan pangannya rendah karena sebagian besar kebutuhan berasal dari luar. Mereka yang ketahanannya rendah pantas khawatir karena berpotensi mengalami gangguan karena berbagai penyebab. Pada sisi lainnya ketahanan pangan yang rendah merupakan potensi untuk membangkitkan gairah bertani terutama untuk orang-orang muda.

Kabar yang paling disyukuri oleh orang tua di perdesaan Jepang adalah anaknya akan pulang kampung. Kepulangan anak mereka yang telah bertahun-tahun bekerja di kota-kota pertanda tradisi keluarga dalam bertani telah menemukan penerusnya.

Jepang memang tengah menghadapi resiko ketahanan pangan yang makin dalam. Rasio ketahanan pangan Jepang saat ini hanya 38 persen. Sebagian kebutuhan pangannya diimport. Oleh karenanya Jepang sangat mengkhawatirkan konflik di laut yang merupakan jalur import pangan mereka. Gejolak di Laut China Selatan atau laut sekitar Taiwan akan membuat Jepang dengan sangat cepat kekurangan pangan.

Sudah dari puluhan tahun lalu masa depan pertanian di Jepang suram. Anak-anak mudanya Jepang enggan bertani. Petani laki-laki yang masih muda sering kesulitan mendapat jodoh. Perempuan-perempuan muda Jepang ingin tinggal di kota.

Penurunan angka jumlah petani di Jepang memang mengkhawatirkan. Tahun 2000 jumlah orang yang bekerja dalam bidang pertanian berjumlah 2,4 juta. Dan dua puluhan tahun kemudian jumlahnya menurun menjadi 1,16 juta. Dari dari jumlah itu hanya dua puluh persen yang usianya dibawah 60 tahun.

Pemerintah Jepang mengupayakan agar di tahun 2030 nanti tingkat ketahanan pangan mencapai 45 persen. Keinginan yang tidak begitu ambisius, tak seperti pemerintah Indonesia yang selalu punya target tinggi-tinggi.

Namun nampaknya menaikan rasio ketahanan pangan hanya 7 persen dalam sepuluh tahun cukup sulit untuk Jepang. Sebab orang-orang mudanya selalu pergi meninggalkan daerah-daerah pertanian untuk mencari pekerjaan di kota-kota.

Selain menyusut, jumlah petani Jepang makin hari makin menua. Dengan demikian produktifitasnya makin menurun. Dengan perubahan iklim, hari yang kerap makin panas waktu bekerja terbaik di ladang pertanian juga makin menurun.

Seperti di Indonesia, pekerjaan dalam bidang pertanian pendapatannya tidak tinggi, harga-harga produk pertanian juga fluktuatif.

Di Jepang lahan pertaniannya juga terbatas. Konon tanah di Jepang memang tak semuanya cocok untuk pertanian. Makanya orang Jepang cenderung bertani di laut. Lebih banyak memakan produk hasil laut seperti ikan, udang dan rumput laut.

Meski Jepang dikenal dengan kemampuannya dalam bidang teknologi, namun lahan pertanian yang terbatas membuat penerapan pertanian berteknologi tinggi menjadi tidak efisien. Petani Jepang terutama yang tua-tua menyenangi kerja fisik. Bekerja di luar ruangan dan dilingkupi oleh alam membuat mereka bahagia dan panjang umur.

Dengan demikian model pertanian dalam skala perusahaan besar menjadi tidak populer.

Pemerintah Jepang masih butuh waktu untuk menerapkan corporate agriculture demi menaikkan tingkat ketahanan pangan mereka.

Data lain menunjukkan makin banyak rumah kosong di Jepang terutama di perdesaan. Itu sama juga artinya banyak lahan pertanian yang ditinggalkan atau terbiar karena tak ada yang meneruskan. Jumlah orang Jepang yang mau tinggal di perdesaan sangat sedikit.

Jepang sungguh pelik, kemajuan dan kemampuan teknologinya ternyata tak cukup membantu.

BACA JUGA : Demi Anak

Dibandingkan dengan Jepang, jelas Indonesia lebih aman.

Ketahanan pangan di Indonesia tidak mengkhawatirkan. Kalaupun ada kekhawatiran itu dikarenakan yang disebut pangan adalah padi atau beras. Tapi jika diperluas, termasuk ke sagu, singkong, jagung dan berbagai jenis umbi-umbian lain, soal pangan mestinya tak mengkhawatirkan.

Yang terjadi justru kita membahayakan ketahanan pangan sendiri. Politik beras membuat berbagai bahan pangan lainnya terlupakan, tidak dibudidayakan dan dikembangkan bahkan banyak yang dihancurkan.

Hutan dan rawa-rawa sagu di Indonesia Timur hilang karena dikonversi menjadi perumahan dan keperluan industri lainnya.

Soal pertanian, Indonesia juga mempunyai tantangan yang sama dengan Jepang. Pertanian bukan bidang yang menarik untuk anak-anak muda.

Memang sekarang ada kecenderungan anak-anak muda yang kembali ke desa setelah menempuh pendidikan tinggi di kota. Namun mereka bukan kembali untuk bertani, mereka pulang karena ingin bekerja di perusahaan yang wilayah konsensi usahanya di desa-desa. Atau mereka kembali untuk mengisi formasi di pemerintahan, seperti menjadi kepala desa atau aparatur lainnya.

Pulang ke desa dan kemudian bertani bukan hanya di Jepang, di Indonesiapun juga bakal disebut aneh.

Berkarir di kota sudah menduduki jabatan tinggi di perusahaan, lalu memutuskan keluar dan pulang ke desa untuk bertani pasti bakal disesali oleh orang tuanya. Aktivis gerakan akan menyebutnya sebagai bunuh diri kelas. Meski sang aktivis akan memberi respek, tapi belum tentu mau menirunya.

Hanya saja meski anak-anak muda tak berminat untuk bekerja langsung di pertanian, tapi suka sekali jika bekerja di perusahaan atau industri pertanian. Jadi jumlah orang yang bekerja di sektor pertanian sebenarnya masih besar. Yang berkurang atau sedikit mengkhawatirkan adalah pertanian mandiri.

Kekhawatiran memang ada, namun yakinlah orang Indonesia beda dengan orang Jepang. Sebagian besar orang Indonesia masih cinta desa, walau tinggal di desa bukan merupakan prioritas.

Meski begitu desa masih menjadi tujuan jika sudah tak ada yang bisa dikerjakan di kota.

Jadi pulang ke desa akan menjadi pilihan. Dan jika pulang lalu di kampung halamannya ada lahan maka bertani akan menjadi pilihan yang mau tak mau akan dilakukan.

Terpaksa juga tak apa-apa. Toh yang paling penting melakukannya.

Dengan terpaksa lama-lama akan biasa. Bahkan tak sedikit yang kemudian jadi hebat.

Bukankah atlet-atlet profesional juga dipaksa. Dipaksa latihan terus menerus, kalau tidak bertanding.

Kini tak sedikit pensiunan orang-orang besar di kota besar yang kemudian kembali ke kampung halamannya dan bertani.

Mungkin untuk mengisi waktu dengan kegiatan yang produktif agar tak mengalami post power syndrome.

Beberapa pesohor yang dulu wira-wiri di layar televisi juga ada yang memilih untuk menjadi petani.

Pilihan yang masuk akal, karena pangan adalah produk abadi sementara keterkenalan di televisi atau medium publikasi lainnya waktunya terbatas.

BACA JUGA : Sachsenking Ring

Kota Samarinda oleh pemimpinnya kerap divisi-misikan sebagai kota jasa, kota industri dan perdagangan. Posisi Samarinda memang strategis, bisa menjadi hub untuk Kutai Kartanegara, Kutai Barat, Mahakam Hulu, Bontang dan Kutai Timur.

Walau begitu Samarinda mempunyai beberapa daerah yang menonjol pertaniannya. Seperti Kecamatan Samarinda Utara, Kecamatan Sambutan dan Kecamatan Palaran. Di masing-masing kecamatan ini ada ratusan Kelompok Tani.

Kota Samarinda sebenarnya tak jauh-jauh dari Jepang soal ketahanan pangan. Sebagian besar kebutuhan masyarakat Samarinda berasal dari luar. Konon kabarnya yang surplus hanya ubi kayu dan daging ayam.

Bedanya, justru ini menjadi kesempatan terutama untuk mengembangkan pertanian di Kota Samarinda. Masa depan tani justru cerah karena ada banyak kebutuhan yang terbuka untuk dipenuhi sendiri.

Memenuhi pangan pokok seperti beras mungkin sulit, namun produk sayuran, buah-buahan dan bumbu dapur menjadi terbuka.

Beternakpun juga menguntungkan seperti ternak sapi dan kambing. Bukan untuk memenuhi kebutuhan pangan harian tetapi justru kebutuhan tertentu seperti aqiqah atau hari raya kurban.

Karena jarak antara kebun dengan konsumen tidak jauh, produk petani Samarinda bahkan tak perlu harus masuk pasar induk. Produknya bisa langsung di pasarkan ke konsumen. Atau ke bisnis tertentu seperti rumah makan.

Beberapa tahun terakhir di Samarinda juga tumbuh warung-warung sayur mayur. Petani bisa langsung memasok hasilnya ke warung-warung ini karena sayur mayurnya jauh lebih segar daripada yang didatangkan dari luar daerah atau bahkan luar pulau.

Lebih dari itu, jika di Jepang mulai jarang petani muda sebaliknya justru terjadi di Samarinda. Di beberapa wilayah Samarinda justru mulai muncul petani dan peternak muda. Merekapun bangga dengan pekerjaan sehingga menamai usahanya dengan farm, garden dan lain-lain.

Dan yang lebih mengembirakan, petani dan peternak muda ini cenderung mempunyai kesadaran lingkungan yang lebih baik dengan menerapkan pertanian yang ramah lingkungan atau rendah residu.

Petani dan peternak muda ini bukan hanya mengejar cuan, melainkan juga berupaya untuk menghasilkan pangan yang sehat untuk masyarakat.

note : sumber gambar – AGRISUSTENERI