Catatan: K. Irul Umam, Jurnalis Media Kaltim

Soal cita-cita, sungguh saya lupa apa jawabannya. Kalau tidak salah sih polisi, atau dokter, atau tentara, atau ustadz, guru, ah banyak. Yang jelas, saya suka sekali menjadi pahlawan dan terus terang, saya ingin menjadi batman.

Dari semua superhero, paling realistis adalah menjadi Batman. Walaupun saat beranjak dewasa, saya sadar, saya tidak lahir dari keluarga “Wayne.” Bapak saya bukan orang kaya, mana mungkin saya menjadi “Bruce.”

Tapi bicara soal cita-cita, seingat saya, guru saya suka dengan teman-teman yang cita-citanya menembus langit. Dokterlah, polisilah, tentaralah, manajerlah, apapun yang profesinya gaji besar, pastinya mendapat pujian.

“Wah luar biasa, kalian pasti bisa kalau terus belajar,” begitu kata guru saya.

Setelah saya fikir, guru saya pembohong. Mana ada orang yang terus belajar jadi polisi. Sebab ada istilah, “Malas baca jadi polisi.” Harusnya guru saya bilang begini, “Kalau begitu siapkan surat tanah atau rumah soalnya jadi polisi perlu modal,” begitu seharusnya.

Jadi dokter apalagi. Masuk fakultas kedokteran tidak perlu pintar, yang terpenting mampu membayar uang pangkal. Yah soal teori, bisa saja dipelajari, tapi soal duit, itu soal nasib.

Lagipula pertanyaan cita-cita itu perlu dikorek-korek kembali. Jangan-jangan guru saya sengaja memproyeksikan teman-teman saya. Pada akhirnya saya adalah salah satu bagian dari “Produk Negara.”

BACA JUGA : Sachsenking Ring

Kalau kata Mas Yustinus (Budayawan Kaltim), “Pendidikan kita gagal memproyeksikan ahli,” katanya.

Terlepas dari itu, sebenarnya cita-cita itu apa? Dan untuk apa? Toh tidak punya cita-cita juga bukan dosa.

Teman saya bercita-cita jadi polisi, malah kerja di tambang. Satu lagi ingin jadi tentara, malah jadi tukang bengkel. Jadi pertanyaan itu untuk apa?

Saya jarang sekali mendapatkan pertanyaan, “Kamu suka belajar apa?” tentu saya jawab IPS, kalau waktu itu ditanya. Saya begitu suka membaca sejarah, cerita-cerita atau tokoh.

Kalau begitu kan saya tidak perlu belajar MTK, cukup belajar sejarah biar jadi ahli sejarah. Atau saya belajar Bahasa Indonesia biar jadi Penulis. Sisanya bisa mengikuti.

Tapi apalah daya, toh guru saya sendiri saya yakin dahulunya tidak bercita-cita jadi guru. Kalaupun bercita-cita jadi guru, pastinya bukan guru honorer.
Sayangnya pertanyaan itu tetap dipertanyakan dan tak pernah ada tindak lanjut.

Saya membayangkan suatu hari ada satu anak yang menjawab pertanyaan itu begini,

“Saya bercita-cita menjadi Bruce Wayne,” itu menarik didengar.

Setidaknya jawaban dia lebih menembus langit daripada jawaban teman-teman saya dahulu.

BACA JUGA : Pulang Bertani

note : sumber gambar – ISLAMIC CENTRE