KESAH.IDKarya Jaya, dari namanya sudah jelas ini tipikal desa yang dihuni warga transmigrasi. Terletak di kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara di wilayah desa ini ada waduk atau bendungan. Desa ini pernah bermasalah karena kebun atau ladang masyarakatnya kemudian masuk dalam wilayah tangkapan air yang ditetapkan statusnya sebagai hutan. Satu penanda yang paling jelas, hampir setiap warganya memelihara sapi. Jumlah ternak sapi yang besar kelak bisa menjadikan desa ini sebagai produsen pupuk dan pembenah tanah organik.

Sepagi itu, sekitar jam 7 jalanan memang masih sepi. Pun juga di jalan Tol Balsam yang tak pernah sepi dari tambalan karena kontruksinya belum mapan benar sehingga bergelombang. Jika tak awas, mobil yang wajib digeber di jalan tol bisa terhentak dan yang menumpang akan ‘terbang’ tegak lurus kepala hampir menyentuh langit-langit kendaraan.

Sepertinya masih butuh waktu beberapa tahun lagi agar kontruksi jalan Tol Balsam ini terduduk bagus hingga bisa dilapis rata permukaannya.

Walau arus lalu lintas di tol nampaknya sepi tapi setiap kali singgah di rest areanya situasinya nampak berbeda. Ada keramaian disana. Mungkin singgah di rest area antara Samarinda – Balikpapan adalah hal yang wajib.

Barangkali banyak yang pergi cepat-cepat hingga belum sarapan atau mengisi perut dengan air hangat. Mungkin banyak pula yang sudah dijemput tapi belum sempat menunaikan tugas buang isi perut yang bikin perjalanan tak nyaman.

Oh, iya kalau mau nyaman jangan nongkrong di kedai atau tempat duduk dekat WC. Ada aroma tak nyaman semeribit di hidung.

Dan Sabtu, 1 Juni 2024 adalah kali pertama saya melewati jalan Tol Balsam kemudian keluar lewat pintu exit di sisi kiri sebelum pintu keluar Samboja. Pagi itu menjelang jam 9, saya mengarah ke Bendungan atau Waduk Samboja untuk pergi ke Desa Karya Jaya.

Dalam perjalanan ke desa itu, saya bertukar pesan dengan istri. Lewat sebuah pesan dia mengabarkan kalau Karya Jaya adalah desa tempatnya KKN dulu, tahun 1991.

Tentu waktu itu Kaya Jaya masuk desa wilayah desa ‘terpencil’, jalannya jalan tanah, belum ada listrik dan penduduknya banyak menanam singkong.

Saya bisa membayangkannya karena desa saya juga baru dialiri listrik setelah Suharto terpilih kembali jadi Presiden di tahun 80-an.

Dan soal singkong terkonfirmasi pada saat berbincang dengan warga. Lamat-lamat saya mendengar ibu-ibu bicara Gatot, Tiwul dan Gaplek. Saya ikut nimbrung dan mereka heran lalu bertanya “Kok tahu tiwul,”

Mereka tak menyangka kalau saya akrab dengan tetek benggek soal Gaplek, termasuk asal usul sebutan Gatot, gaplek yang berjamur tapi akan terasa kenyil-kenyil dan manis jika dikukus.

Masa kecil saya adalah masa Indonesia masih setengah susah, beras masih jadi makanan mewah untuk sebagian warganya. Hingga disana-sini masih kental kebiasaan masyarakat untuk mengkonsumsi makanan pokok non beras. Salah satunya singkong atau ketela yang diawetkan dengan cara dikupas lalu dijemur sampai kering, namanya Gaplek.

“Orang desa sekarang tidak mau makan Gaplek,” ujar salah satu ibu yang dari logatnya nampak berasal dari daerah Jawa Tengah bagian barat selatan.

Saya membenarkan dengan cara yang positif. “Atau mungkin Gaplek adalah makanan istimewa, karena jarang yang membuatnya,”

Seingat saya Tiwul makanan olahan dari Gaplek memang lebih bisa ditemukan di Kota Besar. Saya makan kembali Tiwul justru di sebuah Mall di Semarang. Dan kemudian membeli Gaplek Instan yang dijual dalam kemasan ‘modern’ oleh anak-anak muda dari Temanggung. Tiwul instan itu diberi aneka rasa, ada rasa strawberry, ada pula rasa pandan.

Karya Jaya, dari namanya ketahuan kalau ini adalah nama tipikal desa di daerah transmigrasi. Karya bisa jadi dicomot dari Golongan Karya. Saya yakin sebagai nama desa, Karya Jaya ada di semua pulau yang menjadi lokasi transmigrasi.

Selain di pulau Kalimantan, desa yang bernama Karya Jaya pasti ada di Sumatera dan Sulawesi.

BACA JUGA : UKT Tinggi

Sebenarnya saya tak punya urusan dengan Desa Karya Jaya, tahu aja tidak. Tapi Kamis lalu seorang teman menelepon, memberi tahu dan sekaligus meminta untuk ‘bekesah-kesah’ dengan warga desa tentang marketing dan branding.

Ini adalah rencana tertunda, jadi saya langsung mengiyakan karena saya punya waktu dua hari untuk mempersiapkannya.

Walau ada beberapa orang yang sering memberi label lebay pada saya sebagai budayawan. Saya tentu saja senang tapi tak serta merta menerimanya. Buat saya budayawan sering tak punya persiapan, atau merasa telah siap segala-galanya sehingga meski dua jam kedepan baru diminta untuk berbicara akan selalu mengiyakannya.

Saya bukan seperti itu, mengiyakan berarti harus mempersiapkan diri, bisa berhari-hari terlebih dalam kerangka acuannya acara berlangsung dari jam 9 pagi hingga 4 sore dan tak ada pembicara lainnya. Artinya saya akan berbicara hingga suara serak.

Dan saya juga bukan seorang fasilitator vibrant, yang piawai menyelingi sesi dengan games, ice breaking atau participatory activity lainnya. Maka saya mesti menyiapkan bahan dengan cukup dan detail, bukan hanya bahan prensentasi power point.

Branding dan Marketing sendiri bukan hal yang asing untuk saya. Sejak tahun 96 saya terlibat dalam banyak program kampanye dan pemasaran, memang bukan kampanye atau marketing program melainkan kampanye dan marketing sosial.

Meski beda bidang namun pada dasarnya sama saja. Branding apapun adalah bentuk merekayasa persepsi, istilah kerennya perception engineering.

Sedangkan marketing adalah sebuah proses yang bermula dari menyadarkan orang, konsientisasi atau awareness dan kemudian berujung pada aksi. Komunikasi dalam marketing adalah komunikasi yang bertujuan untuk merubah perilaku.

Di kalangan para marketer kerap ada mantera “Bukan apa yang dijual tapi siapa yang menjual”. Saya tak menolak keyakinan atau kesombongan semacam itu. Tapi buat saya, keyakinan ini pasti muncul dari seorang penjual, bukan seorang pebisnis.

Apa yang dijual tetap penting, produk haruslah tetap berkualitas atau terbaik yang bisa kita hasilkan. Ketrampilan speak-speak tanpa didukung produk yang baik akan membuat marketing dan branding gagal, karena tujuan terakhir dari branding dan marketing adalah loyalitas.

Loyalitas artinya pembeli tidak hanya mencicipi lalu merasa tertipu melainkan puas lalu membeli kembali bahkan merekomandasikan produk itu pada rekan-rekan sebayanya atau orang lain. Dan puncak dari loyalitas adalah advokasi, pemakai akan membela produk yang dipakainya jika ada yang mencela atau menyerangnya.

Lihat saja ketika Honda diserang karena rangka ESAF-nya yang dibilang ringkih itu. Tanpa disuruh atau dibayar oleh Honda, ada banyak konten beredar di media sosial dari para loyalis Honda yang siap sedia membela. Bahkan tak sedikit yang pembelaannya mengandalkan otot, mengajak penyerang untuk adu tinju.

Kenapa demikian, karena brand Honda sudah sangat kuat di masyarakat. Citra baiknya telah tertanam disebagian besar masyarakat Indonesia, Honda seperti telah satu hati dengan Indonesia walau motor itu buatan Jepang.

Hal yang sama terjadi pula pada brand-brand kuat lainnya seperti Apple, Tesla, Starlink, Starbuck dan lainnya. Mereka bahkan dibela bukan hanya oleh pemakainya karena produk brand ini dimaui banyak orang tapi banyak yang tidak bisa membelinya.

BACA JUGA : FILM BERHASIL

Satu hal yang paling saya khawatirkan ketika berbincang dengan para pelaku UMKM terutama ibu-ibu yang tak gampang puas dengan jawaban adalah “Bagaimana memasarkan produknya?”

Dan betul pertanyaan ini terus berulang karena mereka merasa bisa menghasilkan produk tapi selalu kesulitan menjual atau meningkatkan penjualannya.

Soal penjualan, umumnya UMKM memang bermasalah karena mereka kebanyakan menghasilkan produknya lebih dahulu tanpa sebelumnya melakukan riset pasar dan membuat road map, blueprint atau rencana penjualan.

Padahal sebuah bisnis mestinya dikembangkan bukan karena saya bisa buat sesuatu, tetapi apakah masyarakat butuh sesuatu.

Tentu saja masyarakat butuh atau ingin, tapi apa yang mereka butuhkan dan apa yang mereka inginkan. Menemukan hal itu berarti kita menemukan potensi dan kemudian menjawab dengan membuat produk.

Memang pasar bisa dibuat, tetapi hal itu perlu proses. Seperti contohnya pasar susu. Dulu susu dipercaya hanya perlu diminum oleh anak-anak. Tapi kemudian ada masalah soal osteoporis. Temuan ini kemudian dipakai untuk membuat pasar, pasar susu untuk orang dewasa hingga kemudian muncul susu kalsium.

Masalahnya masyarakat sudah membuat produk tanpa sebelumnya melakukan kajian atas strategi dan model bisnisnya. Akibatnya karena mendengar soal branding dan lain-lainnya banyak yang berlomba-lomba bergenit-genit dengan merek atau brand dan kemasan.

Dan lihatlah dalam berbagai expo yang disebut dengan produk UMKM kemudian mirip-mirip satu sama lain, padahal kemasan adalah salah satu identitas visual maka jika mirip-mirip tujuannya untuk berbeda atau menonjol tidak akan tercapai.

Ini memang salah satu masalah, desain produk yang tidak hanya meliputi grafis melainkan bentuk dan bahan kemasan umumnya memang hanya bisa disediakan atau dilakukan oleh perusahaan besar. Sementara UMKM umumnya membeli produk kemasan plastik, gelas, botol, kardus dan lainnya dalam bentuk yang sudah jadi baru diberi teks dan grafis akibatnya desain kemasannya banyak yang sama atau senada.

Murah, bagus dan berbeda ini yang kemudian menjadi tantangan. Mau memanfaatkan sumberdaya yang ada di tingkat lokal seperti kemasan yang terbuat dari anyaman, entah bambu, jenis rumput atau dedaunan lainnya pasti akan jadi faktor pembeda yang mencolok. Namun kemasan akan jadi lebih mahal dan produknya jadi ekslusif atau premium. Padahal produknya tidak dimaksudkan untuk pasar khusus, akibatnya ketika dimasukkan ke pasar massal atau tak terdiferensiasi menjadi terasa mahal dan jadi omongan kaum mendang-mending.

Masih banyak pekerjaan rumah untuk memajukan UMKM terutama di desa lewat strategi branding dan marketing. Namun dalam bincang-bincang usai pertemuan justru ada insight besar. Rasanya Karya Jaya beruntung punya direktur BUMDES yang masih muda dan punya visi untuk membranding dan memarketing desanya.

Dia menyadari bahwa para pelaku UMKM akan sulit untuk melakukan branding dan marketing sendiri maka mesti ada yang secara serius membantu untuk mencoba bertanggungjawab soal itu.

Saya mengatakan padanya mestinya BUMDES mengambil tanggungjawab dan inisiatif soal itu. Awalnya sebagai tanggungjawab sosial namun saya yakin kalau berkembang maka itu akan menjadi sebuah unit usaha sendiri dari BUMDES.

Direktur muda itu menyadari dan kemudian berencana untuk merekrut anak-anak muda untuk belajar lebih serius soal branding dan marketing agar bisa membantu Karya Jaya membranding dan memarketing berdasarkan penanda geografis yakni Karya Jaya.

Semoga dalam beberapa tahun ke depan, ketika kita mendengar Karya Jaya tidak akan berpikir kalau itu adalah nama sebuah gang di Samarinda, Tenggarong atau Balikpapan.

note : tulisan ini merupakan catatan dari kegiatan Pelatihan Produk Branding dan Strategi Pemasaran UMKM Desa Karya Jaya yang dilaksanakan oleh Lakpesdam NU Kutai Kartanegara lewat Program Penguatan Pemerintah dan Pembangunan Desa atau Desa Inklusi Kementerian Desa.