KESAH.ID – Umumnya petani aren hanya mengolah air nira menjadi gula merah atau gula batu. Padahal air nira bisa diolah menjadi produk turunan lainnya seperti gula cair, gula semut dan gula tapok. Diversifikasi produk ini akan membuat segmen pasar dari produk turunan air nira menjadi semakin meluas. Dengan semakin luasnya segmen pasar, petani akan mampu memberdayakan dirinya menjadi insan sejahtera. Dan petani yang sejahtera akan menjadi penjaga alam dan lingkungannya.
Hutan bambu atau biasa disebut papringan biasa saya lihat dulu. Tapi hamparan tanah dengan tegakan rapat pohon aren, baru-baru ini saja saya temui. Saya tak menyangka akan melihatnya di sebuah daerah yang saya datangi tanpa rencana.
Pohon aren sendiri bukanlah pohon yang asing untuk saya. Semenjak kecil saya sering melihatnya, minum air hasil sadapannya atau legen, juga mengkonsumsi gula hasil olahannya.
Bahkan sewaktu kecil saya sering melihat glugu atau batang aren tua ditarik melewati jalan depan rumah. Ditarik beramai-ramai dengan bantuan batang-batang kecil dibawahnya agar bisa melaju seperti gerobak panjang.
Pohon aren yang sudah tidak produktif untuk diambil niranya biasanya akan ditebang untuk bahan pembuat tepung aren, kanji atau sagu aren. Proses pembuatannya bampir mirip dengan sagu. Bedanya sagu biasanya dipangkur, sementara aren batangnya akan dikupas lebih dulu kulit kerasnya, lalu dibelah dan diparut. Baru diberi air dan kemudian diperas.
Air perasannya akan didiamkan beberapa saat untuk mengendapkan tepungnya.
Di masa kecil saya, buah aren yang diolah jadi kolang-kaling masih merupakan salah satu makanan favorit. Kolang-kaling biasa dipakai untuk campuran es, kolak dan dimakan langsung setelah diolah dengan gula serta diberi pewarna. Jaman itu agar-agar dan jelly belum populer.
Seperti halnya pohon kelapa, pohon aren banyak manfaatnya. Lidi daunnya bisa dibuat menjadi sapu. Dan ijuk yang menyelimuti batangnya bisa diolah menjadi bahan pembuat sapu, sikat, keset dan tali. Selain itu jika jumlahnya banyak, ijuk juga bisa dipakai sebagai atap.
Kegunaan lain dari ijuk adalah menjadi bahan penyaring untuk membersihkan air.
Masih banyak kegunaan lain dari bagian tumbuhan enau atau aren ini. Maka pohon aren sering juga disebut sebagai pohon serbaguna.
Pohon ini tumbuh secara alami, menyebar mulai dari India Timur hingga Malaysia, Indonesia dan Philipina.
Pohonnya banyak tumbuh di lereng-lereng dan pinggiran sungai.
Ketika saya bertanya siapa yang menanam pohon aren yang kemudian menghutan ini, petani aren yang saya temui itu mengatakan tidak tahu. Setahu dia pohon-pohon aren ini telah tumbuh di kanan kiri sungai sejak dulu.
“Mungkin biji-biji aren terbawa dari atas sana, lalu nyangkut di lahan kanan-kiri sungai ini dan kemudian tumbuh,” ujarnya.
Pohon aren memang bisa tumbuh sendiri, di lantai hutan aren itu banyak sekali tunas-tunas baru yang bersemi dari biji buah aren tua yang jatuh ke tanah.
Jadi tanpa ditanam sekalipun pohon-pohon baru akan tumbuh mengikuti seleksi alam.
Jumlahnya yang begitu banyak membuat tidak semua pohon aren diambil air niranya. Antara jumlah pohon dan pengolahnya tidak sebanding.
Dan ketika saya tanyakan soal pemanfaatannya, petani aren itu menjawab hanya diambil air niranya saja untuk bahan pembuat gula merah.
Dalam hati saya berpikir sayang sekali. Hutan aren yang penuh potensi ini sebagian manfaatnya disia-siakan.
BACA JUGA : Singa Merah
Namun setelah merenungi perjalanan menuju hutan aren ini, saya kemudian mahfum.
Potensi memang kerap kali tak bisa didayagunakan karena akses dan jarak dari pasar.
Membuat kolang-kaling dari buah aren mungkin tak terlalu menguntungkan, karena untuk menjualnya mesti melewati jalan tanah yang berdebu saat hari panas dan becek saat hari hujan.
Pun demikian dengan olahan dari juknya, kerajinan yang tak segera bisa dijual untuk menghasilkan uang.
Maka pilihan membuat gula menjadi yang paling masuk akal karena lebih gampang untuk dikonversi menjadi uang.
Seiring dengan perkembangan, produk-produk yang berasal dari pohon aren memang tergusur. Kolang-kaling bukan lagi jenis makanan yang populer. Agar-agar, jelly, nata de coco dan lainnya lebih dipilih sebagai pengantinya.
Pun juga sapu, sikat dan keset ijuk, kebanyakan sudah diganti dengan bahan dari plastik atau karet.
Bahan atau barang yang sudah dihasilkan oleh industri atau pabrikan ini membuat para pengrajin produk turunan dari pohon aren pasarnya makin sempit, bahkan menghilang. Ketrampilan untuk membuatnya tak lagi diturunkan.
Mendiversifikasi produk turunan dari pohon aren nampaknya sulit karena pasarnya mulai terbatas. Kalaupun ada maka pasar itu termasuk dalam kategori pasar ceruk.
Seperti trend di perkotaan lewat kemunculan kafe atau kedai yang bernuansa alam atau etnis. Bangunannya butuh tali atau atap dari ijuk misalnya, namun kebutuhannya tak banyak.
Maka inovasi atau peningkatan yang paling masuk akal adalah pada produk turunan dari air nira. Yang pertama adalah mutu atau kualitasnya sehingga produknya menjadi produk yang terpercaya.
Umumnya petani aren atau produsen gula merah mengerjakan secara tradisional. Tidak ada SOP termasuk dalam menjaga kebersihan alat, bahan, produk dan keamanan dirinya. Petani jarang mengunakan alat perlindungan diri saat memanen air nira dan pengerjaan paska panennya.
Yang paling sederhana, sering kali kita menemukan helai rambut dalam bongkahan gula merah karena saat mengolah air nira petani aren tidak menggunakan penutup kepala.
Hanya saja merubah kebiasaan ini cukup sulit, sama seperti halnya ketika UU Lalu Lintas mewajibkan pemakaian pelindung kepala untuk pengendara sepeda motor. Butuh waktu bertahun-tahun bagi masyarakat untuk kemudian rela memakai helm.
Demikian halnya dengan pemakaian masker. Di saat pandemi Covid 19, anjuran untuk memakai masker tidak serta merta diterima.
Petani aren pun demikian ketika diberi apron, sarung tangan, sepatu bot, masker dan penutup kepala, merekapun seperti merasa geli sendiri.
Jika tak awasi dan tak terus didorong untuk memakainya, niscaya bantuan alat perlindungan diri demi kebersihan produk dan keamanan diri mungkin hanya akan tersimpan di lemari, atau lusuh karena hanya digantung tanpa pernah dipakai.
BACA JUGA : Ormas Tambang
Kembali ke perluasan pasar atas produk dari air nira. Selain peningkatan kualitas, produk juga bisa didiversifikasi. Air nira bukan hanya bisa menghasilkan gula merah atau gula batu melainkan juga produk lainnya seperti gula semut, gula cair, gula tapok dan lain-lain.
Perkembangan bisnis FnB akhir-akhir ini membuka peluang peningkatan kebutuhan gula merah siap pakai. Gula semut dan gula cair berpeluang untuk memenuhi kebutuhan itu.
Di bisnis minuman kekinian, aren menjadi branding tersendiri. Ada kopi susu gula aren yang terkenal dan jenis-jenis minuman lain yang dilabeli dengan gula aren. Gula aren yang dipakai untuk minuman-minuman ini adalah gula semut, atau gula aren bubuk.
Sementara gula cair selain dipakai untuk pemanis minuman tertentu bisa juga dipakai sebagai toping untuk sajian-sajian makanan kecil. Gula semut pun juga bisa dipakai sebagai taburan untuk berbagai jenis camilan.
Di luar sektor kuliner, gula cair juga dibutuhkan oleh para pembuat pupuk organik. Gulai cair biasanya dipakai untuk bahan tambahan nutrisi untuk pembiakan microorganisme yang bertugas melakukan dekomposisi pada material organik pembuat kompos atau pupuk lainnya.
Diversifikasi produk akan membuka saluran pendapatan lain bagi petani aren. Bergantung pada satu produk saja bisa berbahaya mengingat harga produk sering naik turun, demikian juga dengan kebutuhannya.
Menghasilkan beberapa jenis produk dari satu bahan yang sama juga membuat segmen pasarnya akan berkembang. Kekurangan atau mungkin kerugian dari satu segmen pasar bisa ditutupi oleh hasil dari segmen pasar lainnya.
Andaikan produk para petani aren laris manis, niscaya mereka akan sejahtera. Jika petani aren sejahtera maka hutan aren akan terjaga bahkan bisa makin meluas.
Petani yang sejahtera akan menjadi penjaga tanah dan air, mempertahankan lahan serta tutupan vegetasi diatasnya.