KESAH.IDJangan dikira yang brengsek dan curang itu cuma pemilu. Penerimaan Peserta Didik Baru {PPDB} pun tak kalah brengseknya. Banyaknya yang namanya kecurangan sudah dirancang satu tahun sebelumnya. Orang tua siswa-siswi mulai bikin sibuk Disducapil untuk merubah domisilinya. Ada juga yang mengeluarkan anak dari kartu keluarga, untuk dititipkan dalam KK keluarga yang dekat dengan sekolahan.

Tiga tahun lalu anak saya lulus SMP, masuk ke jenjang pendidikan SMA. Saya senang dia memilih sekolah negeri setelah SD dan SMP nya di Sekolah Swasta Katolik. Bukan semata soal uang sekolah, melainkan meluaskan pergaulan dengan siswa yang latarnya lebih beragam.

Karena pemerintah sudah menetapkan penerimaan siswa sekolah negeri dengan sistem zonasi maka pilihannya tidak banyak. Ada dua sekolah SMA negeri yang dekat dengan rumah, keduanya masih berada dalam batas zonasi.

Namun anak saya ingin masuk sekolah negeri lainnya yang konon merupakan sekolah favorit. Masih dekat juga tapi lewat dari satu kilometer jaraknya.

Sistem penerimaannya online, jadi semua data dimasukkan ke dalam sistem melalui website. Anak saya memilih 3 sekolah, dengan dua pilihan yang kemungkinan besar akan menerima karena berada dalam zonasi.

Saya lupa persis berapa hari proses. Tapi yang pasti di hari pertama sampai tengah hari nama anak saya ada di pilihan sekolah pertama. Tapi tengah hari sudah tergeser di sekolah pilihan kedua yang jaraknya kurang lebih 800 meter dari rumah.

Tapi semakin bertambah jam, namanya semakin besar angka. Lama kelamaan tidak aman karena sudah mendekati angka buncit. Dan sehari kemudian terpental ke sekolah ketiga yang jaraknya di google map persis 1 km dari rumah.

Ini jadi harapan satu-satunya karena yang dipilih hanya 3 sekolah.

Dag dig dug juga setiap saat melihat perkembangan jumlah yang diterima. Nama anak saya sudah berada di angka ratusan.

Entah darimana muasalnya, kemudian ada pemberitahuan penambahan kuota. Legalah saya, bisa dipastikan anak saya akan diterima di sekolah pilihan ketiganya.

Dan benar begitu sistem ditutup, nama anak saya termasuk yang diterima. Diterima dengan cara mengikuti semua prosedur tanpa ada tambah ini dan itu. Ketika ada yang memberi tips untuk mengeser titik domisili di google map, sayapun tak melakukannya.

Beberapa saat kemudian saya mengajak anak saya berbincang. Ngabsen teman-teman sekolahnya yang mendaftar di SMA negeri diterima di mana saja.

Ada seorang temannya yang diterima di sekolah favorit yang menjadi pilihan pertama anak saya.

Saya agak heran sebab jarak antara rumahnya dengan sekolah lebih jauh dari rumah saya dengan sekolah yang sama.

Saya bertanya pada anak saya “Kok, si itu diterima disana,”

Anak saya menjawab “Ada saudaranya yang mengajar di sekolah itu,”

Rupanya ada ordal disana. Jadi biarpun PPDB memakai sistem online, tetap saja ada tangan sakti yang bisa menyisipkan siswa untuk diterima walau berada di luar zonasi.

BACA JUGA : Sandera Data

Namanya orang tua memang akan melakukan apa saja untuk anaknya agar mendapat pendidikan yang terbaik. Biar pontang-panting, demi masa depan yang cerah pasti akan dilakukan. Dan diterima di sekolah favorit entah favorit anak maupun favorit orang tuanya menjadi cara pertama untuk memastikan masa depan itu.

Masalahnya penerimaan siswa baru ada aturannya, yakni zonasi. Walau ada juga cara lain seperti jalur prestasi, jalur affirmasi dan entah jalur apa. Yang jelas jalur pintaspun rasanya tak kurang banyak.

Kabarnya lewat orang dalam, kursipun bisa dibeli.

Pemerintah konon membuat sistem zonasi untuk memeratakan pendidikan. Agar tak ada lagi sekolah favorit, agar siswa yang pintar maupun yang bodo sama-sama terbagi.

Dengan sistem zonasi ini yang penting jarak. Asal jaraknya masih dalam rentang zonasi kemungkinan diterimanya tinggi.

Mendaftar lewat sistem zonasi biarpun nilai rata-ratanya mendekati sempurna tetap saja tidak berpengaruh jika jaraknya antara rumah dengan sekolah sudah melewati batas.

Nah soal jarak ini yang kemudian sering dimanipulasi. Manipulasinya niat sekali karena dilakukan setahun sebelumnya.

Orang tua akan pergi ke Disducapil untuk merubah domisili di KK agar makin dekat sekolah. Bahkan ada juga yang mengeluarkan anak dari KK, lalu dimasukkan ke KK keluarga yang rumahnya lebih dekat dengan sekolah.

Anak saya bilang ada temannya yang sukses masuk ke sekolah pilihan kedua anak saya. Dan setahu saya rumahnya lebih jauh dari rumah saya ke sekolah itu yang hanya 800 meter. Anak saya tidak diterima tapi temannya yang rumahnya lebih jauh justru diterima.

“Alamatnya dah di pindah, pakai alamat tantenya yang rumahnya nda jauh dari tembok sekolah,” ujar anak saya.

Demi anak orang tua melakukan perbuatan tercela, perbuatan yang kerap dinasehatkan pada anaknya untuk jangan sekali-kali dilakukan.

Entahlah Disducapil curiga atau tidak dengan banyaknya orang yang memindahkan alamat setahun menjelang penerimaan siswa baru. Atau jangan-jangan justru mereka yang memberikan kiat untuk meng-hack sistem zonasi itu.

Dan mungkin ada juga dari antaranya yang memonetisasi. Menarik uang jasa karena tahu yang memindahkan alamat itu tujuannya untuk memuluskan anaknya masuk sekolah yang diinginkan.

Nampaknya semua mahfum. Walau ada bisik-bisik tetangga namun fakta memanipulasi jarak antara sekolah dan rumah tidak pernah dibongkar oleh penyelenggara. Di Samarinda rasanya belum ada siswa yang dianulir karena ketahuan memanipulasi alamat rumah dengan merubah KK.

BACA JUGA : Kampung Pisang 

Ayah saya seorang guru. Setiap menjelang penerimaan siswa baru selalu banyak orang bertamu ke rumah. Yang datang bertamu pasti tidak kosongan, selalu saja ada bawaannya.

Saya sering nguping. Orang yang bertamu itu tak memaksa anaknya diterima di sekolah tempat bapak mengajar. Mereka hanya bilang anaknya mendaftar, tolong dilihat-lihat. Atau malah ada yang datang untuk menitipkan anaknya agar dididik di sekolah.

Begitu cara orang tua dulu memberi kode-kode agar anaknya dibantu untuk diterima di sekolah.

Saya tak punya pengalaman seperti itu. Karena hanya sekali sekolah di sekolah negeri, waktu SD.

Dan waktu itu tak perlu repot-repot melakukan ini dan itu. Semua yang mendaftar akan diterima.

Saya memang pernah mendaftar ke sekolah negeri. Tapi hanya mendaftar saja tanpa pingin betul diterima karena sekolah yang baru berdiri itu dikelilingi sawah. Panas sekali.

Pendaftaran pertama saya tak diterima, seleksinya ketat. Tapi siswanya kurang sehingga dibuka gelombang kedua.

Ternyata kepala sekolahnya teman bapak saya. Dan bapak saya bilang “Sana ndaftar lagi kalau mau sekolah disana,”.

Tapi saya tidak pergi.

Saya memilih sekolah swasta tempat teman-teman SMP saya meneruskan sekolah tingkat SMA.

Mungkin karena pengalaman itu saya hampir-hampir tak mikir untuk cawe-cawe mencarikan jalan untuk anak saya diluar sistem agar diterima di sekolah yang dia inginkan.

Saya tak mengatakan diri saya baik karena itu.

Kalau saya tak melakukan karena saya merasa tak mampu. Saya bukan pejabat yang begitu kuat mencarikan jalan untuk anak-anaknya. Bahkan sampai merubah peraturan hanya agar anaknya bisa mengikuti jalan yang diinginkannya.

Saya juga tak percaya karma. Jadi tak ada kekhawatiran apabila saya berlaku curang maka buahnya akan dipetik oleh anak saya.

Sekali lagi saya tidak cawe-cawe, tidak menghubungi orang dalam atau tak cari bekingan karena saya hanya ingin biasa-biasa saja. Menjadi rata-rata seperti kebanyakan orang, karena berhasil atau gagal, sukses atau tidak itu hanyalah hal yang biasa saja.

note : sumber gambar – METRODAILY