KESAH.ID – Setiap kelompok masyarakat mempunyai cara masing-masing dalam melakukan pengawetan makanan berdasarkan pengetahuan atau kearifan tradisionalnya masing-masing. Ada yang masih bertahan dan terus berkembang, namun banyak yang kemudian menjadi arkaik digilas oleh cara pengawetan berteknologi modern.
Tidak semua ikan enak dimasak dengan cara dibakar. Salah satu syarat yang mesti dipenuhi oleh ikan yang hendak dibakar adalah berdaging tebal, kenyal dan gurih. Ukurannya juga relatif cukup besar.
Jaminan mutu ikan yang enak dibakar adalah ikan-ikan karang, ikan yang biasanya ditangkap dengan cara dipancing karena mereka hidup dalam ekosistem karang. Beberapa jenis yang ternama antara lain Ekor Kuning, Baronang, Kerapu, Kakap dan lain-lain.
Di pesisir perbatasan antara Kota Manado dan Minahasa ada kawasan kuliner ikan bakar yang berjajar dipinggir jalan. Dulunya hanya berupa warung-warung tenda yang menjual ikan bakar untuk dibawa pulang.
Paska konflik di Maluku Utara, beberapa pengusaha dari sana kemudian membuka rumah makan di wilayah Kalasey itu.
Muncul rumah makan seafood yang besar-besar, tempat menikmati ikan bakar sambil menatap lautan. Jika cuaca terang benderang akan kelihatan gunung Manado Tua menyembul dari lautan.
Setiap kali diajak kesana dan jika diberi kewenangan untuk memilih rumah makan yang mana maka saya cenderung memilih rumah makan yang tak terlalu besar dan mewah, yang biasa-biasa saja.
Bukan saya tak doyan makan kakap, kerapu, baronang dan lainnya. Saya suka, bahkan suka sekali.
Tapi diatas itu saya lebih menyukai ikan Cakalang yang dibakar dengan pelan. Bukan dengan arang melainkan sabut kelapa. Hasilnya ikan bakar dengan wujudnya masih utuh, cantik tanpa gosong di kulitnya.
Dibakar dengan gonofu, yang memang kurang cocok untuk restoran mewah dan mahal karena banyak asap, daging ikannya akan masak bagus, tidak terlalu kering dan tak juga teramat basah. Rasanya pas di mulut, apalagi dicocok dalam sambal iris yang disertai cah kangkung Manado yang renyah.
Saya suka Cakalang karena isinya daging semua, tebal. Sehingga puas rasanya makang ikang. Walau teman saya mengatakan selera makan ikan saya rendah, saya tak peduli. Yang penting ikan Cakalangnya segar.
Makan ikan Cakalang memang mesti hati-hati sebab ikan yang hidupnya tidak di kedalaman {pelagis} lautan ini mudah rusak dan busuk.
Ikan dengan daging berwarna gelap dan mengandung banyak lemak ini jika tidak ditangani dengan baik paska penangkapan atau saat pengawetan juga bisa memproduksi racun strombrotoksin atau racun histamin.
Makan ikan Cakalang yang mulai rusak akan berakibat keracunan, badan terasa gatal-gatal dan muka memerah serta terasa tebal.
Karena gampang rusak dan membusuk, nelayan-nelayan kecil yang berhasil menangkap Cakalang dalam jumlah banyak, jika tak mungkin untuk segera menjualnya maka akan mengawetkan dengan cara diasapi.
BACA JUGA : Negeri Kurang Piknik
Wilayah selatan Kabupaten Purworejo berbatasan langsung dengan laut, Samudera Indonesia atau biasa disebut Laut Kidul, wilayah kekuasaan Nyai Roro Kidul.
Lautnya berombak dan pesisirnya berupa hamparan pasir, panas sekali kalau siang hari. Beberapa pantai diantara pernah saya datangi dengan bersepeda kesana.
Meski punya laut tapi masyarakat Purworejo tak akrab dengan seafood. Yang biasa dijual di pasar adalah ikan air tawar, ikan tangkapan di sungai atau hasil ternak di kolam-kolam.
Ikan laut segar mesti didatangkan dari daerah lain, jarang ada di pasar. Yang cukup mudah ditemukan ialah ikan tongkol pindang, kemungkinan besar di datangkan dari daerah pantai utara.
Sesekali kalau ada tetangga yang datang dari Semarang, kami dioleh-olehi ikan bandeng segar. Amis sekali baunya, saya nggak suka.
Ikan laut lainnya yang banyak dijual sudah berupa ikan asin, ikan yang diawetkan dengan garam.
Oh, iya ikan tongkol bentuknya seperti ikan cakalang, juga ikan tuna, ketiganya merupakan jenis ikan yang berbeda walau berasal dari keluarga yang sama yakni Scrombidae.
Tuna memiliki tubuh yang jauh lebih besar, anakannya saja bisa 5 kilogram beratnya. Dan ikan tuna lebih banyak ditangkap untuk keperluan ekspor terutama ke Jepang.
Di negeri kita lebih mudah menemukan ikan tuna kaleng ketimbang ikan tuna segar.
Cakalang dan tongkol besar serta bentuknya hampir sama. Hanya saja cakalang warnanya lebih terang dari tongkol, maka sering disebut tongkol putih. Warna punggung cakalang dan tongkol juga berbeda.
Tongkol lebih banyak dikonsumsi oleh orang Jawa dan Sumatera, sedangkan cakalang lebih banyak dijumpai di Sulawesi dan Maluku.
Di Sulawesi Utara, terutama di daerah pesisir, ikan cakalang sering dibuat rujak atau gohu. Diiris tipis dan diberi ‘saus’ lalu dimakan mentah seperti halnya tuna yang dibuat jadi sashimi di Jepang.
Saya sendiri belum pernah mencicipi rujak cakalang. Jangankan ikan, gohu pepaya yang jadi kegemaran orang Manado saja saya nggak suka.
Buat saya saus atau kuah gohu terasa aneh, campurannya ekstrim antara pedas, manis dan asam.
Tapi kalau ada yang menawari cakalang fufu pasti saya tak akan menolak. Cakalang fufu adalah ikan cakalang yang diasapi, dan sumber asap terbaiknya adalah bakaran kayu mangrove.
Kabarnya asap dari kayu mangrove akan membentuk lapisan yang menyelimuti daging ikan yang diasapkan, seperti lapisan lilin, berwarna merah kecoklatan.
Orang Manado tahu persis mana ikan cakalang fufu yang merah coklatnya alamiah. Yang merahnya karena pewarna akan mereka sebut sebagai cakalang fufu smengken atau bergincu.
Walau sudah diawetkan dengan asap, daya tahan cakalang fufu jika tidak disimpan dalam feezer sebenarnya tak lama. Jangan sampai lewat dari 3 atau hari, karena setelah itu rasanya akan berubah.
Cakalang fufu bisa langsung digoreng dan kemudian dimakan dengan sambal cocol, atau disiram dengan saos sambal. Tapi tak kalah enak juga dimasak dengan santan.
Kalau mau lebih awet dan bisa bertahan selama beberapa hari, cakalang fufu diolah jadi sambal cakalang. Sambal yang cocok sebagai lauk untuk melahap nasi hangat.
Orang Manado bilang kalau makan sambal cakalang yang pedas dan nasi hangat bakal beking picah suar. Muka berkeringat seperti habis mencangkul kebun seluas satu hektar.
BACA JUGA : Dunia Terus Berputar Karena Segelintir Orang Tamak
Kebiasaan mengawetkan makanan ada dalam semua kebudayaan. Yang diawetkan juga macam-macam, demikian dengan caranya.
Jauh sebelum ditemukan mesin pendingin dan pengolah, panenan atau tangkapan yang berlimpah jadi masalah. Tak mungkin dikonsumsi habis dan kalau dibiarkan akan membusuk. Dicarilah cara untuk mengawetkannya.
Pengawetan juga berkaitan dengan musim. Pada masyarakat empat musim sekurangnya empat bulan setiap tahunnya tak bisa apa-apa, permukaan tanah ditutupi salju. Maka perlu ada cadangan makanan, makanan yang diawetkan.
Cara paling umum untuk mengawetkan adalah digarami, digulai dan diasapi.
Ikan, daging, sayur dan lainnya dilumuri dengan garam, garam akan meresap sehingga jamur, bakteri atau mikroorganisme lain tidak akan tumbuh atau berbiak dalam bahan makanan itu.
Setelah itu dijemur, diangin-anginkan atau tetap disimpan dalam suhu ruangan seperti telur asin. Digarami kemudian dijemur sampai kering akan membuat bahan makanan tahan berbulan-bulan, contohnya ikan asing.
Selain garam, gula juga bisa dipakai untuk mengawetkan. Yang diawetkan dengan gula umumnya adalah buah-buahan. Kita mengenalnya sebagai manisan.
Cara masak sayur nangka yang diberi banyak gula sebenarnya juga merupakan model pengawetan. Dimasak lama dengan banyak gula, nangka akan mengalami karamelisasi, warnanya jadi kemerahan.
Gudeg Jawa, terutama Jawa Tengah dan Yogyakarta yang terkenal manis akan tahan berhari-hari asal rajin dipanaskan. Masakan nget-nget-an.
Selain gudeg, makanan yang manis adalah baceman. Resep ini berlaku untuk lauk, bisa tempe, tahu atau daging-dagingan. Makanan yang dibumbui bacem bisa saja langsung dimakan tapi akan lebih enak jika digoreng atau dibakar.
Makanan awetan yang banyak dijual di pasar atau bahkan menjadi industri adalah makanan yang diasapi. Yang diasapi umumnya daging hewan dan ikan.
Orang Eropa menyebut smoke beef, masyarakat kita umumnya mengenal sebagai dendeng. Ada yang original ada pula yang dibumbui.
Orang Timor biasa membuat Se’i, daging sapi atau daging babi yang diasapi dengan ditutupi daun kesambi.
Di Toraja, yang biasa dibuat daging asap adalah kerbau atau tedong. Kerbau biasanya dipotong pada saat upacara kematian, jika jumlah kerbau yang dipotong banyak maka tak mungkin dikonsumsi habis sebagai daging segar, maka diawetkan.
Hanya saja daging yang diasapi umumnya menjadi alot dan keras. Jika ingin dagingnya lebih lunak, sebelum diasapi daging diiris agak tipis dan ditumbuk-tumbuk sampai agak lunak.
Agar awet dan tahan berbulan-bulan, pengasapannya mesti lama, kalau perlu setelah diasapi kemudian dijemur di bawah panas matahari.
Sejauh ini saya merasa ikan asap lebih enak, terutama ikan cakalang. Sebab ada ikan asap yang keras, yakni ikan roa asap, hingga sering disebut ikan kayu. Cocoknya dihancurkan dan dibuat sambal.
Sedangkan cakalang asar atau cakalang fufu tektur dan rasanya tak terlalu berubah. Hanya saja memang tidak bisa tahan berminggu-minggu, karena dagingnya masih agak basah.
Ngomong-ngomong soal rendang yang viral beberapa waktu lalu, masakan itu sebenarnya juga termasuk masakan awetan. Dimasak dengan santan sampai kering membuat daging rendang tahan berhari-hari.
Persis sama dengan gudeg, karena dimasak over cooked, lama sekali hingga menghabiskan banyak kayu bakar atau gas, daging rendang jadi lembut. Kelembutan dagingnya dengan rasa bumbu yang kaya membuat rendang sering disebut sebagai salah satu makanan terenak dari Indonesia.
Memang enak, tapi yang masak rendang bukan hanya orang Indonesia melainkan juga orang Malaysia.
Jadi biar nggak ribut dengan orang Malaysia, maka saya lebih memilih cakalang fufu sebagai makanan terenak. Cara masaknya juga lebih mudah. Cukup digoreng saja lalu dimakan dengan dabu-dabu, sambal uleg atau sambal iris. Pokoknya, pe sadap skali punya.
note : sumber gambar TRIBUNMANADO.CO.ID