KESAH.ID – Setiap orang tentu ingin kerja sependek mungkin jamnya namun menghasilkan sebanyak mungkin uang. Dengan begitu seseorang akan punya waktu untuk menikmati hasilnya. Jadi warung yang buka 24 jam sesungguhnya dilakukan karena terpaksa karena kalau hanya buka seperempat atau setengah hari hasilnya tak akan mencukupi. Warung Madura atau Warung Daeng yang buka 24 jam sesungguhnya tengah melakukan perlawanan kelas, agar hasil yang mereka peroleh tak jauh-jauh amat dari warung-warung berjejaring yang dimodali oleh investor.
Sekitar 10 tahun lalu ketika mulai bertumbuh gerai minimarket jaringan di Kota Samarinda sebagian besar pedagang kelontong kecil menjadi gelisah. Mereka resah karena merasa tak dilindungi oleh pemerintah.
Ijin pendirian atau pembukaan jaringan minimarket seperti Indomaret, Alfamart/Alfamidi, Eramart dan lainnya dianggap begitu gampang diberikan. Mereka merangsek hingga ke lokasi-lokasi dalam permukiman yang selama ini menjadi pasar pedagang kecil atau lazim dikenal sebagai Warung Daeng.
Pada bulan Februari tahun itu sekelompok massa yang menamakan diri sebagai Forum Persatuan Saudagar {FPS} yang beranggotakan pedagang kecil dan menengah, asosiasi pedagang pasar tradisional dan solidaritas mahasiswa samarinda melakukan aksi. Mereka melakukan sweeping dan menyegel puluhan minimarket di Samarinda.
Tuntutannya adalah kepedulian pemerintah Kota Samarinda pada pedagang kecil dan menengah yang sering dianaktirikan.
Perseteruan antara jaringan minimarket dan pedagang kecil atau warung eceran lama kelamaan mereda. Mungkin para pihak sadar kalau mereka memang bukan saingan aple to aple, brand positioningnya berbeda begitu kata para mentor branding.
Antara gerai minimarket dan warung kelontong dalam hal ini Warung Daeng memang punya kelebihan dan kelemahan masing-masing yang saling tak tergantikan.
Dan faktanya beriringan dengan pandemi Covid 19 justru terlihat ada trend kebangkitan Warung Daeng. Kini terlihat nyata, ekpansi Warung Daeng justru lebih agresif ketimbang minimarket berjaringan yang mulai mandek.
Dulu Warung Daeng umumnya berada di jalan pinggiran atau bukan jalan utama, kini dengan mudah ditemukan Warung Daeng di jalan-jalan besar dengan penampilan yang diperbaharui, barang lebih tertata rapi dan penjaganya yang juga muda-muda.
Keadaan justru berbalik, kini yang terancam oleh warung kelontong rakyat adalah jaringan minimarket seperti yang terjadi di Bali.
Pemilik jaringan minimarket disana meminta pemerintah untuk menerbitkan larangan buka 24 jam bagi warung kelontong tradisional, yang disana dikenal dengan sebutan Warung Madura.
Permintaan ini sebenarnya agak diluar nurul, apakah para pengusaha besar itu sudah sedemikian desperate dengan penurunan omzetnya sehingga menuduh Warung Madura sebagai biangnya.
Seingat saya dulu sebuah jaringan ritel yang beroperasi di tempat atau kota-kota wisata juga buka 24 jam, misalnya Circle K. Dan di beberapa tempat Indomaret, Alfamart dan lainnya juga melakukan hal yang demikian.
Jadi kenapa mesti melarang orang lain berjualan 24 jam, jika dirinya sendiri juga bisa melakukannya.
Barangkali berjualan 24 jam untuk minimarket berjaringan memang tidak efektif, jumlah pembelinya mungkin tak sebanding dengan beban overhead cost yang harus ditanggung untuk operasi 24 jam. Selain itu buka 24 jam memang bisa mengundang kejahatan, gerai bisa dirampok.
Sekali lagi agak aneh, entitas yang lebih besar omnzetnya justru berupaya menghambat-hambat entitas lain yang jauh lebih kecil kekuatannya.
Sungguh jahat penasehat yang menganjurkan untuk meminta pemerintah menerbitkan larangan itu. Karena hal yang diusulkan adalah langkah yang akan menikam jantung kekuatan Warung Madura, Warung Daeng dan sebutan-sebutan lain di berbagai daerah yang tentu berbeda.
Buka 24 jam adalah kekuatan warung tradisional atau warung rakyat ini. Jam layanan yang panjang adalah kunci untuk meningkatkan omzet.
BACA JUGA : Branding Marketing
Kenapa pengusaha jaringan minimarket mesti meminta tolong ke pemerintah?. Sebab tak elok kalau mereka harus sweeping dan menyegel warung rakyat.
Dan dalam persepsi umum, pemerintah sering digambarkan sebagai entitas yang cenderung membela investor. Pemerintah akan takut kehilangan investor daripada kehilangan kepercayaan rakyatnya.
Lalu haruskah Warung Madura, Warung Daeng dan warung sejenisnya mesti buka 24 jam?. Ya tidak ada keharusan itu.
Namun dalam teori perubahan sosial, ini yang disebut sebagai perjuangan kelas. Kelompok yang bermodalkan kelemahan untuk berperang maka mesti meluangkan waktu dan melakukan usaha lebih keras. Dan buka 24 jam adalah pilihan agar omzet warungnya bisa sebesar gerai-gerai milik para investor.
Buka 24 jam adalah the weapon of the weak dari rakyat jelata yang kadang tak dibela para pemimpinnya untuk meraih kehidupan yang lebih bermartabat.
Untung saja menteri perdagangan Zulkifli Hasan dan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki menegaskan bahwa larangan berjualan 24 jam tak akan pernah berlaku.
Walau demikian para pengusaha kecil tetap saja berhak merasa waswas. Sebab apa yang dinyatakan tidak selama tidak dilandasi oleh peraturan atau UU bisa saja berlaku sebaliknya.
Pemerintahan itu bertingkat, karenanya bisa saja yang berada di level bawahnya mempunyai kebijakan lain, kebijakan yang ajaib.
Barangkali bupati, walikota atau bahkan nanti ketua RT punya alasan kepedulian pada kesehatan warganya. Mereka bisa saja melarang warganya buka warung 24 jam karena itu tidak sehat, bekerja berlebihan. Sebab dalam peraturan ketenagakerjaan, jam kerja yang normal itu adalah 8 jam.
Ditambah lagi aktivitas pada jam ketika orang beristirahat adalah berbahaya, banyak resiko maka tanpa tambahan penjaga keamanan kegiatan pada jam-jam itu berbahaya.
Sekali lagi dengan alasan peduli pada keamanan warga, pemimpin bisa saja memakainya sebagai alasan untuk melakukan pembatasan atau pelarangan.
Memakai alasan yang tidak sebenarnya untuk melakukan pelarangan atau pembatasan adalah hal yang biasa di negeri ini, negeri yang aparatur penegak hukumnya kadang tak segera bertindak tegas hanya karena takut pada tekanan kelompok tertentu.
Doa dan pengajian saja bisa dibubarkan oleh Pak RT, pun juga diskusi untuk kebaikan bersama bisa saja dilarang oleh Ormas.
Dan yang suka melarang-larang itu tak peduli kalau aksinya masuk dalam kategori tak masuk akal.
Tapi sekali lagi di negeri ini ada banyak hal yang tak masuk akal tetap saja terjadi karena yang banyak dipakai bukan akal melainkan okol.
BACA JUGA : Start Bagus
Agak aneh memang kalau ritel modern merasa terganggu dengan keberadaan Warung Madura, Warung Daeng dan lainnya. Mereka jelas lebih punya segala-galanya, punya team marketing, team branding, team selling. Mereka juga punya event dan promosi untuk memperkuat posisi dan janji brand pada pelanggan.
Sementara pemilik Warung Madura, Warung Daeng hampir tak melakukan apa-apa untuk meningkatkan omzet, meraup pelanggan dan seterusnya. Mereka hanya pasif, menunggu pembeli datang.
Tapi mungkin ini jadi kelebihan, karena niatnya tak semata mengkonversi pasar menjadi pembeli. Ada layanan disana meski tak dipromosikan. Layanan untuk orang yang punya keperluan mendadak yang mungkin tak bisa dilayani oleh ritel modern seperti masyarakat yang kendaraannya kehabisan bensin.
Karena tersedia setiap saat mungkin warung-warung ini kemudian menjadi dekat dengan masyarakat. Misalnya mereka lapar atau haus dan ingin camilan maka bisa langsung pergi ke warung jam berapapun. Pergi begitu saja tanpa perlu berpikir soal penampilannya pantas atau tidak. Warung-warung ini tak keberatan pembelinya datang bertelanjang dada atau nyeker atau tak beralas kaki.
Mestinya para pengusaha ritel modern jika merasa omsetnya turun tak buru-buru menyalahkan warung kelontong yang buka 24 jam sebagai penyebabnya. Carilah dulu kesalahan atau kekurangan didalam dengan intropeksi diri, bukan mencari kambing hitam.
Bisa jadi usaha minimarket berjejaring sudah masuk dalam tahap meredup atau pertumbuhannya akan stagnan. Maka perlu pembaharuan walaupun brand-nya sudah besar. Ingat nama besar tak selalu berarti cuan.
Apa yang dulu mampu menarik atau meraup pelanggan barangkali kini tak menarik lagi atau sudah tak kelihatan lagi. Maka pengusaha ritel modern perlu memeriksa lagi Unique selling propotion dan Unigue value propotion mereka lagi.
Lihatlah kembali apakah layanan, fitur atau produknya memang lebih unggul dibanding dengan Warung Madura atau Warung Daeng, dan apakah kehadiran minimarket membawa nilai atau manfaat bagi pelangan atau customer.
Jadi jangan salahkan 24 jam sebab sesungguhnya tak ada yang mau buka 24 jam kalau saja buka satu atau dua jam saja sudah memberi pendapatan yang mensejahterakan hidup diri serta keluarganya.
note : sumber gambar – MSN